Selasa, 22 April 2014

H.O.S Tjokroaminoto

LATAR BELAKANG KEHIDUPAN HOS TJOKROAMINOTO
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEghuaC8a4EmvBW8tWUwI251X7tuAeASjVjkDHeTaP8Xvnbqu3hYLpl1LDtkdzUc0o9CLsyXdMTuGJ29-ExgEn5jHQtPmpiyV1Ez73e1XP5dvsuPsQDK07mMfeI3acIqH7T1J1Cg7Xkx08w/s1600/cokroaminoto_1.jpg
A.    H.O.S Tjokroaminoto
Omar Said Tjokroaminoto lahir di Madiun, pada tanggal 16 Agustus 1883. Putra seorang wedana dan cucu R.M. Adipati Tjokronegoro, bupati Ponorogo. Setelah menamatkan pendidikan dasar, beliau melanjutkan sekolah ke OSVIA Magelang.[1]
H.O.S Tjokroaminoto merupakan anak kedua dari dua belas bersaudara. Mereka adalah (Secara Berurutan dari yang tertua) R.M. Oemar Djaman Trokroprawiro, R. Aju Trokrodisoerjo (ketiga), R.M. Poerwadi Tjokrosudidjo, R.M.O. Sabib Tjokrosoepardjo, R.A. Adiati, R. Aju Martowinoto, R.M. Abikoesno Tjokrosoejoso, R. Adjeng Istingatin, R.M. Poerwati, R. Adjeng Istidjah Tjokrosoedarmo, dan R.A. Istiroh Mohammad Sobari. Diantara mereka yang mengikuti jejak Tjokroaminoto malang melintang di dunia pergerakan adalah Oemar Sabib dan R.M. Abikoesno Tjokrosoejoso. Sedangkan saudaranya yang lain mengikuti jejak ayahnya sebagai bupati, wedana, pegawai tinggi maupun yang lain.[2]
Pada tahun 1902 beliau memulai kariernya sebagai juru tulis di Ngawi.[3] Ia hanya tiga tahun dalam pekerjaan itu karena tidak kuat melakukan sembah dan jongkok kepada atasan, tatakrama dikalangan penguasa Bumiputra yang masih bertahan waktu itu.[4]
Tjokroaminoto pada saat itu dihadapkan pada kultur dan struktur kolonialisme yang direkayasa secara berencana oleh pemerintah kolonial untuk menjajah bangsa Indonesia. Essensi budaya kolonialisme adalah eksploitasi ekonomi, dominasi politik, diskriminasi sosial dan assosiasi (pembaratan) cultural. Kolonialisme di dukung oleh kultur dan struktur feodalisme, dimana pemerintah kolonial memanfaatkan letundukan rakyat kepada penguasa pribumi dalam menjalankan roda pemerintahannya untuk melakukan eksploitasi kekayaan bangsa Indonesia.[5]
Sebagai seorang anak priyayi, Tjokroaminoto dijodohkan oleh orangtuanya dengan anak priyayi pula yaitu Soeharsikin, putrid seorang wakil bupati Ponorogo yang bernama Raden Mas Mangoensoemo. Patih ini dikenal sangat pemberani dan disegani walaupun bertugas di daerah Ponorogo yang terkenal gawat dengan ulah warok dan perampok-perampok yang hampir tiap hari membuat ricuh di masyarakat.[6]
Keteguhan dan kecintaan R.A. Soeharsikin kepada suaminya dibuktikan sejak awal masa pernikahannya yang dipaksa memilih antara berpisah dengan orang tuanya atau dengan Tjokroaminoto, bagai memilih buah simalakama. Hal ini terjadi ketika Tjokroaminoto berselisih dengan mertuanya. Perselisihan ini bermula dari pebedaan pandangan antara keduannya. Tjokroaminoto tidak berhasrat menjadi birokrat, sedangkan mertuanya menginginkan Tjokroaminoto menjadi birokrat, sebab mertuanya masih bersikap kolot dan cenderung elitis.[7]
Jurang pemisah diantara keduanya pun makin melebar dan semakin sulit untuk dijembatani. Sadar akan kenyataan yang dihadapinya ini, Tjokroaminoto pun mengambil tindakan nekat. Dia meninggalkan rumah kediaman mertuanya yang juga menjadi kediamannya selama ini walaupun ketika itu istrinya sedang mengandung anknya yang pertama.[8]
Tindakan nekat Tjokroaminoto ini menimbulkan kemarahan besar mertuanya, bahkan kebencian. Mangunsoemo memaksa anaknya, Soeharsikin untuk bercerai dengan Tjokroaminoto, sebab kepergiannya membuat malu dan mencoreng martabat dan kehormatan keluarga. Dihadapkan pada situasi sulit ini, Soeharsikin secara tegas tetap memilih suaminya, Tjokroaminoto.[9]
Secara diplomatis Soeharsikin menjawab:
Ayahanda! Dahulu ananda dikawinkan oleh ayah-bunda dengan Mas Tjokro, padahal ananda pada waktu itu tidak mengenalnya. Ananda ta’ati! Kini ananda pun tetap taat.
Kalau ayah-bunda menceraikan ananda dengan Mas Tjokro baiklah, tetapi…. Seumur hidup, ananda tidak mau kawin lagi. Oleh karena dunia dan akhirat, suami ananda hanyalah Mas Tjokro semata.[10]

Dalam pengembaraannya, Tjokroaminoto sampai kota Semarang. Untuk menyambung hidupnya, ia tidak segan-segan menjadi kuli pelabuhan. Malahan pengalaman yang tak terlupakan ini mendorongnya untuk memperhatikan kehidupan kaum buruh aik di perkebunan, kereta api, pengadilan, pelabuhan dan sebagainya ketika ia berkecimpung di dunia pergerakan. Bukankah Tjokroaminoto telah merasakan sendiri kehidupan sebagai buruh? Dia lah yang mempelopori berdirinya “Sarekat Sekerja” yang bertujuan mengangkat harkat kaum buruh.[11]
Mendengar kelahiran anaknya, Tjokro kembali ke kediaman mertuanya untuk menjemput anak dan istrinya. Akhirnya Tjokro dan keluarga menetap di Surabaya, walaupun dalam suasana sederhana, keluarga ini sangat harmonis dan bahagia. Di Surabaya Tjokro bekerja di sebuah perusahaan dagang sambil belajar di sekolah malam hari setingkat HBS. Setelah menyelesaikan sekolah malamnya, beliau bekerja sebagai teknisi di pabrik gula Rogojampi dari tahun 1907-1912.[12]
Untuk mempertahankan dapur, istrinya menerima pemondok. Pekerjaan istrinya itu berlangsung terus, kendati Tjokroaminoto telah masyhur sebagai pimpinan politik.[13] Pelajar yang mondok di rumah Tjokroaminoto sekitar 20 orang. Kebanyakan mereka bersekolah di M.U.L.O, H.B.S dan M.T.S.[14]
H.O.S Tjokroaminoto adalah tokoh yang melahirkan kader-kader bangsa. Beberapa pelajar bertempat tinggal di rumah Tjokro[15] dan di rumah ini mereka tidak hanya makan dan tidur di rumah Tokroaminoto, tetapi juga berdiskusi baik dengan sesame maupun dengan Tjokroaminoto. Mereka saling mempengaruhi dan memberi wawasan yang lebih luas.[16] Mereka melakukan percakapan tentang masa depan Indonesia yang dipandu oleh beliau sendiri. Termasuk diantara mereka itu adalah Ir. Soekarno yang kemudian menjadi presiden pertama Republik Indonesia.[17]
Soekarno melukiskan kehidupan dalam keluarga Tjokroaminoto sebagai berikut:
Pak Tjokro semata-mata bekerja sebagai Ketua Sarekat Islam, dan penghasilannya tidak banyak. Dia tinggal di kampong yang penuh sesak tidak jauh dari sebuah kali. Menyimpang dari jalanan yang sejajar  dengan kali itu ada sebuah gang deretan rumah di kiri kanannya yang terlalu sempit untuk jalanan mobil. Gang kami namanya gang 7 Peneleh. Pada seperempat pevilium setengah melekat. Rumah itu dibagi menjadi sepuluh kamar-kamar kecil, termasuk ruang loteng. Keluarga pak Tjokroaminoto tinggal di depan. Kami yang bayar makan, di belakang. Sungguhpun semua kamar sama melaratnya, akan tetapi anak-anak yang sudah bertahun-tahun bayar makan mendapat kamar yang namanya saja lebih baik. Kamarku tidak pakai jendela aku terpaksa menghidupkan lampu uterus menerus sekalipun di siang hari. Duniaku yang gelap ini mempunyai sebuah meja goyah tempatku menyimpan buku, sebuah kursi kayu sangkutan baju dan sehelai tikar rumput. Tidak ada kasur dan tidak ada bantal.[18]

Sekalipun demikian, Tjokroaminoto juga halus perasaannya, beliau menyukai music tradisional Jawa. Sebagai orang Islam, Tjokroaminoto dikenal juga sebagai pembawa kebudayaan Jawa. Dalam hal ini Ki Hajar Dewantara menulis kesan-kesannya mengenai Tjokroaminoto:
…Kanda Tjokroaminoto tidak asing dalam hal kesusastraan dan wajang (drama) serta karawitan…kebudajaan asli jang masih hidup di daerah Djawa. Itulah …pribadi almarhum Tjokroaminoto sebagai seorang Islam-nasionalis,…adalah gambarannya Sultan Agung pula,…sebagai “radja aulia” di kalangan orang-orang Djawa…jang menjebabkan rakjat djelata dan rakjat jang bertingkat menaruh keperjaan…terhadap diri Tjokroaminoto… jang menjebabkan “Sarekat Islam”… dalam waktu setengah tahun sadja sudah beranggautakan setengah djuta orang).[19]

Tidak hanya dari kalangan bangsa Indonesia, seorang Belanda yang notabene adalah penjajah, juga tidak dapat menyembunyikan rasa kagum pada diri Tjokroaminoto.
H.O.S Tjokroaminoto memiliki Visi tentang masa depan Indonesia merdeka. Pertama, negara Indonesia merdeka harus bersifat demokratis, baik secara politisi maupun ekonomis. Artinya keinginan secara politis bangunan negara dibangun diatas keinginan dan sesuai dengan aspirasi dan inspirasi rakyat banyak, bebas dari dominasi kekuasaan asing, pembangunan ekonomi hendaknya benar-benar berorientasi pada kepentingan rakyat banyak dan non kapitalistik, tidak ada proteksi, monopoli dan riba.[20]
Kedua, dalam Indonesia merdeka bangunan kemasyarakatannya harus bersifat persaudaraan, kemerdekaan dan persamaan, tidak diskriminatif. Sedangkan bangunan budayanya harus dilandasi dengan nilai-nilai yang mengangkat harkat manusia dan mertabat bangsa. Segala tradisi dan adat istiadat yang feodalistik dan yang oleh beliau disebut sebagai jahiliyah modern tidak dibenarkan tambah subur di alam Indonesia merdeka.[21]
Ketiga, pendidikan yang diidealkan oleh Tjokro adalah pendidikan system sekolah yang di dalamnya diajarkan ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum, dengan tujuan membentuk manusia Indonesia sejati, berjiwa merdeka, demokratis dan berwawasan luas, namun tetap religious, dan cinta tanah air.[22]
Sesui dengan tuntutan zaman dalam kultur dan struktur kolonialisme pada saat itu, maka masa depen Indonesia merdeka menurut visi Tjokroaminoto merupakan antithesis terhadap kultur dan struktur kolonialisme tersebut. Tjokroaminoto tidak menyukai eksploitasi ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial dan pengusaha-pengusaha asing terhadap bangsa Indonesia, sebagaimana ia tidak menyukai adanya dominasi politik oleh pemerintah kolonial terhadap wilayah dan kedaulatan bangsa Indonesia.[23]
Tjokoaminoto kadang-kadang dianggap sebagai Ratu Adil, ‘raja yang adil’ yang diramalkan oeh tradisi mesianik Jawa, yang disebut Erucakra (yaitu, nama yang sama dengan Cakra-aminata, Tjokroaminoto).[24]  Konon H.O.S Tjokroaminoto sudah luas dianggap sebagai Ratu Adil, sehingga rakyat berlomba menyentuh pakaiannya, bahkan mencium kakinya. Hal ini bukan saja karena keandalannya dalam berpidato, tetapi karena beberapa faktor lain yang tampak seperti kebetulan. Diantaranya adalah namanya sendiri, Tjokro, dengan mudah dianggap menunjuk pada Prabu Heru Cokro, Ratu Adil yang dikenal dalam cerita rakyat Jawa, Karena Tjokro berbicara atas nama Islam, maka hal itu juga dengan mudah dianggap sebagai pertanda dari Imam Mahdi, sejenis Ratu Adil juga dalam peradaban Muslim.[25]
Beliau dikenal sebagai orator ulung yang mampu memikat pendengarnya. Oleh pemerintah Hindia Belanda beliau dijuluki de ongekroonde koning van Jawa (Raja Jawa tanpa Mahkota). Besarnya pengaruh SI di bawah pimpinan Tjokroaminoto membuat pemerintah Hindia Belanda berusaha menghambat perkembangan organisasi tersebut dengan memutus hubungan antara pengurus pusat dan pengurus daerah. Sikap politik SI terhadap pemerintah Hindian Belanda adalah moderat.[26]
B.     Pemikiran dan Karya H.O.S Tjokroaminoto
Tjokroaminoto ternyata tidak hanya sebagai orator ulung atau organisator pergerakan belaka, melainkan juga sebagai penulis yang tajam dan produktif. Hal ini karena ia juga aktif dalam dunia pers. Diantara karya tulisnya antara lain:
1.      Islam dan Sosialisme (104 hlm)
2.      Tarich agama Islam, Riwayat dan Pemandangan atas kehidupan dan perjalanan Nabi Muhammad saw (203 hlm)
3.      Program Asas dan Program Tandhim Partai Sarekat Islam Indonesia (99 hlm)
4.      Reglement Umum Bagi ummat Islam (69 hlm)[27]
Kajian tentang Islam dan Sosialisme menurut Tjokroaminoto bertujuan untuk: pertama, untuk membangun pengertian dan perasaan ummat Islam, bahwa agama Islam tidak hanya mengehendaki keselamatan bagi pemeluknya, melainkan juga keselamatan segenap pergaulan umat manusia dan kemanusiaan bersama. Kedua, untuk menepis anggapan salah yang menyatakan bahwa agama Islam tidak cakap untuk memajukan hal-hal yang berkaitan dengan politik, ekonomi dan Sosial.[28]
Dalam bidang keagamaan, pemikiran H.O.S Tjokroaminoto dapat dilihat dari beberapa segi:
Pertama, dalam Bidang tauhid. Dalam bidang ini, seperti yang diungkapkan dalam program tandhim, yaitu bahwa umat manusia berpegang pada “sebersih-bersih tauhid”. Dengan landasan ini diharapkan dapat terbentuk kepribadian yang utuh, bebas dari rasa sedih, takut dan hina. Orang yang beriman harus bangkit rasa harga dirinya.[29]
Kedua, dalam bidang ibadat dan syariat. Dalam bidang ibadat, Tjokroaminoto berupaya agar dunia Islam tidak membesar-besarkan perselisihan dalam masalah furu’ belaka. Sebab akibat dari hal tersebut, umat Islam lalai terhadap persoalan besar yang mengancam umat Islam. Selain itu, ia juga berpendapat bahwa Islam adalah agama dakwah, agama yang harus dikembangakan dan disebarluaskan. Oleh sebab itu, segala bentuk aturan yang merintangi penyiaran agama islam harus dihilangkan.[30]
Ketiga, hubungan antara Islam dan kebudayaan Tjokroaminoto mempunyai gagasan yang maju. Islam ideal bagi Tjokroaminoto adalah Islam yang modern, Islam yang rasional, tetapi tetap berakar pada tauhid. Hal ini nampak ketika ia mengemukakan pokok-pokok pikirannya tentang “cultuur dan adat Islam” dalam kongrs PSII ke-19 di Jakarta tanggal 3-12 Maret 1933.[31]
Dalam bidang kenegaraan H.O.S. Tjokroaminoto merumuskan bahwa untuk menjalankan Islam dalam segala aspek kehidupan, bangsa Indonesia harus “bersandar kepada sijasah (politik) jang berkenan dengan bangsa dan negeri tumpah darah sendiri, dan politik menudju maksud akan mencapai persatuan atau perhubungan dengan ummat Islam lain-lain begeri (Pan-Islamisme) agar dapat mencapai kemuliaan dan keluhuran derajat”.[32]
Dalam bidang kependidikan menurut tjokroaminoto, ilmu yang harus dituntut oleh umat Islam adalah :” ilmu jang harus diperoleh dengan setinggi-tingginja kemadjuan ‘aqal (intelect), tetapi tidak sekali-kali boleh terpisah daripada pendidikan budi-pekerti dan pendidikan ruhani.[33]
Dan yang terakhir dalam bidang kemasyarakatan. Fondasi sistem kemasyarakatan menurut Tjokroaminoto adalah tauhid. Dari fondasi tauhid ini kemudian lahir nilai-nilai persamaan, kemerdekaan  dan persatuan. Bagi Tjokroaminoto segala sesuatu yang berasal dari Allah, untuk Allah dan kembali kepada Allah.[34]
LAHIRNYA SAREKAT ISLAM DAN PERAN HOS TJOKROAMINOTO
A.    Awal Berdirinya Sarekat Islam
Berhasilnya revolusi nasional Tiongkok pada Oktober 1911, membuat orang China di Hindia Belanda tampil dengan sangat berjaya. Ditambah dengan perdagangan mereka yang maju. Maka masyarakat China yang sedang penuh rasa percaya diri itu tampil sebagai ancaman bagi pedagang Bumiputra di Surakarta.[35] Hubungan China dengan masyarakat Jawa pada umumnya menjadi tegang gara-gara meningkatnya kesombongan dan kebanggaan yang mereka perlihatkan pada saat bangkitnya revolusi China.[36]
Kedua kelompok mulai bentrok. Anggota Rekso Roemekso[37] sering adu fisik dengan anggota Kong Sing[38]. Rekso Roemekso didirikan oleh Haji Samanhoedi ketika para pedagang Bumiputra keluar dari Kong Sing tidak lama setelah Oktober 1911.[39]
Mengetahui adanya perkelahian diantara anggota kedua organisasi tolog menolong itu, polisi mengusut sah-tidak-nya masing-masing organisasi tersebut. Ternyata Rekso Roemekso tidak mempunyai status badan hukum karena baik samanhoedi maupun para anggotanya tidak pernah mengetahui perlunya hal semacam itu. Untuk menghadapi polisi, Samanhoedi minta tolong Djojomargoso (temannya dan pejabat kepatihan). Pada gilirannya Djojomargoso minta tolong Marthodarsono, bekas redaktur Medan Prijaji. Marthodarsono mengaku pada polisi bahwa Rekso Roemekso adalah cabang SDI Bogor,[40] Ketika polisi minta akte notarisnya, Marthodarsono minta tolong Tirti Adhi Soerjo.[41]
Tirto Adhi Soerjo datang ke Surakarta pada Januari 1912 membawa surat resmi yang diperlukan untuk menjadikan Rekso Roemekso berstatus badan hukum. Surat resmi ini bertanggal mundur, 9 November 1911 dan organisasinya disebut Sarekat Islam (SI), walaupun demikian para anggota di Surakarta tetap menyebutnya Sarekat Dagang Islam.[42]
Dalam buku Raja Priyayi dan Kawula karangan Kuntowijoyo dijelaskan Sarekat Islam berdiri dalam hubungannya dengan bisnis, berupa usaha untuk mematahkan monopoli bahan-bahan kimia untuk perusahaan batik dan gerakan ronda melawan Cina yang menjadi arogan setelah Revolusi Cina tahun 1911. Jadi SI Surakarta lahir mula-mula karena local politics, gerakan ekonomi melawan  monopoli dan gerakan keamanan melawan Cina. Baru kemudian SI berkembang menjadi gerakan politik dan keagamaan.[43]
Pada perkembangan selanjutnya, SI berkembang menjadi lebih dari sekedar organisasi keagamaan.  Anggota SI kemudian tidak hanya terdiri dari golongan pedagang maupun orang muslim saja, tapi juga golongan abangan maupun golongan priyayi, terutama priyayi rendahan.[44] Hal ini menjadikan orientasi tujuan SI semakin meluas karena telah mencakup aspek ekonomi, sosial, politik serta kultural[45]. SI juga disebutkan sebagai organisasi yang mampu memobilisasi massa secara besar-besaran baik di perkotaan maupun pedesaan.[46]

B.     Perjuangan H.O.S Tjokroaminoto dalam Sarekat Islam
Perjuangan H.O.S. Tjokroaminoto dalam bidang politik tidak dapat dilepaskan dari Sarekat Islam (SI). Tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa SI identik dengan Tjokroaminoto, sebaliknya tanpa Tjokroaminoto, SI tidaklah dapat menjadi “Partai politik massa” yang disegani oleh teman maupun lawan dan tidak akan menjadi pelopor kebangunan politik nasional Indonesia pertama. Tjokroaminoto memiliki andil yang besar, kalau tidak bisa dikatakan terbesar, dalam membangun SI menjadi pergerakan politik pergerakan politik nasional.[47]
Diawal berdirinya, kegiatan SI menarik banyak minat orang menjadi anggotanya, yang mula-mula di Surakarta, kemudian di luarnya. Pemerintah jajahan di daerah itu mulai cemas perkembangan SI. Residen G.F. Van Wijk menilai keadaan tersebut sebagai ancaman SI terhadap ketertiban umum (rust en orde). Akhirnya pada 10 Agustus 1912, residen mengumumkan larangan sementara bagi SI melakukan kegiatan dan menerima anggota baru.[48]  
Komisi pusat SI di Solo berpikir keras mencari jalan keluar dari suasana buntu karena larangan residen. Dalam hubungan ini, diadakanlah repat dengan mengundang dua orang dari Surabaya yang sudah menjadi anggota SI pada bulan Mei 1912. Mereka adalah H.O.S Tjokroaminoto dan Raden Tjokrosoedarmo.[49]
Tentu patut jadi pertanyaan mengapa Samanhoedi mengundang kedua orang itu, Jawabannya mungkin terletak dalam keterangan Haji Agoes Salim yang diberikannya kepada Robert Van Niel di Ithaca pada 1953. Konon, menurut Haji Agoes Salim, Tjokroaminoto sudah terkenal waktu itu dengan komentar-komentarnya yang berani sebagai anggota pertunjukan wayang keliling. Selain itu ia dikenal juga sebagai pembicara yang jujur dan orang yang berani bersikap terhadap pihak penguasa.[50]
Rapat menemukan satu celah hukum dalam larangan residen tersebut: larangan hanya berlaku untuk Surakarta. Di luar wilayah itu SI tentu masih boleh dan dapat dikembangkan. Rapat juga menunjuk Tjokroaminoto sebagai komisaris yang khusus bertugas membuat anggaran dasar dan akte baru, sekaligus mengembangkan SI di daerah lain.[51]  
Tindakan Tjokroaminoto untuk menjadapatkan status pengakuan badan hukum untuk SI tersebut merupakan langkah politis yang jitu dan berwawasan ke depan. Betapa tidak dengan pengakuan tersebut SI akan memperoleh berbagai keuntungan politis yaitu: Pertama, sebagai perkumpulan, Sarekat Islam akan mempunyai wewenang untuk melakukan tindakan hukum perdata. Kedua, pengakuan badan hukum dianggap sebagai persetujuan resmi pemerintah terhadap perkumpulan yang bersangkutan. Ketiga, sulit bagi suatu perkumpulan yang tidak diakui untuk mengadakan rapat.[52]
Tjokroaminoto dan Tjokrosoedarmo berhasil menyusun anggaran dasar baru. Pada tanggal 14 september 1912, Tjokroaminoto mengajukan anggaran dasar itu kepada Residen Surabaya, dan pada 17 September 1912, Residen Surakarta mencabut larangannya sambil menyarankan agar disusun anggaran dasar baru yang menegaskan bahwa kegiatan SI terbatas di Surakarta.[53]
Langakah berikutnya untuk memperbesar peran Sarekat Islam adalah mengadakan kongres pertama pada tanggal 26 Januari 1913. Dapatlah dikatakan bahwa kongres akbar SI ini merupakan perhelatan Tjokroaminoto. Hal ini wajar mengingat Tjokroaminoto adalah pemimpin SI cabang Surabaya yang sekaligus menjadi tuan rumah kongres. Tjokroaminoto membikin kongres ini sekaligus sebagai “kampanya politik massa”.[54]
Sejak tahun 1912, SI berkembang pesat. Bernard H.M. Vlekke dalam Nusantara’s History of Indonesian menyatakan bahwa saat itu gerakan Sarekat Islam disambut oleh rakyat sebagai Revival of Islam (kebangkitan kembali Islam). Meskipun saat itu sebenarnya rakyat belum memahami Al-Quran, namun lebih tertarik dengan Sarekat Islam  karena lebih merakyat daripada Boedi Oetomo sebagai gerakan priyayi yang eksklusif menjauh dari rakyat.[55]
Perkembangan SI yang sangat pesat itu memerlukan reorganisasi. Maka, pada 25 maret 1913 diadakanlah kongres SI di Surakarta. Dalam “Kongres Nasional” CSI yang pertama itu hadiri 80 SI lokal yang mewakili 360.000 anggotanya. Dalam pidatonya, Tjokroaminoto yang kemudian terpilih sebagai ketua menjelaskan, kata “nasional” berarti gerakan rakyat yang berjuang menggalang persatuan kuat diantara semua kelompok penduduk Hindia-Belanda untuk mencapai tingkat “Kebangsaan”. Ditegaskannya perjuangan itu dilakukan secara lambat laun menurut hukum, untuk memperoleh status pemerintahan sendiri, atau setidaknya mempunyai hak bersuara dalam urusan kenegaraan, semboyan yang diajukannya “bersama dengan dan membantu pemerintah”. Ia juga menegaskan, Dewan kolonial yang masih dibicarakan di Parlemen Nederland harus disambut sebagai langkah pertama menuju pemerintahan sendiri, betapa terlambatpun pembentukannya.[56]
Dalam kongres yang diadakan pada 25 maret 1913 ini Soewardi Soeryaningrat menuntut agar syarat “Muslim” dihilangkan bagi anggota SI. Ia mengatakan, yang diperlukan pada saat itu bukan hanya solidaritas Muslim, tetapi solidaritas semua penduduk Hindia. Sebagaimana tersirat dalam nama surat kabar SI Bandung, Hindia Sarekat, seyogyanya SI menjadi organisasi Sarekat (H)India.[57] Peran tjokroaminoto juga sangat besar. Malam menjelang kongres, dipilih pengurus besar yang selanjutnya bernama Central Comite. H. Samanhudi terpilih sebagai ketua dan Tjokroaminoto sebagai wakil ketua. Seperti juga di Surabaya, rapat di Surakarta sipimpin oleh Tjokroaminoto.[58]
Tuntutan Soewardi Soerjaningrat tempaknya masih radikal bagi SI, secara seutuhnya, tujuan SI tercantum dalam anggaran dasar SI tahun 1912, ayat 2, yakni berisi: perama, meningkatkan semangat dagang dan kewirausahaan dikalangan rakyat pribumi, kedua,membantu anggota yang kesulitan dalam memperoleh hajat hidup yang layak, ketiga,meningkatkan pengembangan spiritual dan kebutuhan materiel orang Indonesia sehingga dapat membantu menaikkan standar hidup mereka, keempat, membasmi kesalahfahaman terhadap Islam, dan menganjurkan kehidupan agama di kalangan rakyat Indonesia yang sesuai dengan ketentuan dan ajaran Islam.[59]
Sesudah kongres SI Surabaya dan di Surakarta, SI berkembang pesat. Propaganda secara masal dilakukan oleh perkumpulan baru ini. Teman-teman sezaman membandingkan tumbuhnya gerakan ini dengan kebakaran padang rumput yang dengan cepat menyambar padang ilalang sekitarnya.[60]
Gubernur Jendral Idenburg secara hati-hati mendukung SI. Pada tahun 1913, dia memberi pengakuan resmi kepada SI. Meskipun demikian, dia tidak mengakuinya sebagai suatu organisasi nasional yang dikendalikan oleh markas besarnya (Central Sarekat Islam, CSI), melainkan hanya sebagai kumpulan cabang-cabang yang otonom.[61] Pada 10 Juli 1913, keputusan pemerintah 30 Juni itu disampaikan baik kepada para residen maupun kepada pengurus pusat SI, apa boleh buat, pengurus SI menerima keputusan itu dan segera merencanakan pengalihan setiap “cabang” SI menjadi SI lokal. Untuk memelihara kerjasama di antara SI lokal ini dibentuklah kemudian semacam pengurus pusat baru, yang terkenal dengan nama Centrale Sarekat Islam (CSI).[62]
Bagi Idenburg, melarang begitu saja tidak ada gunanya, apalagi dengan tekanan dan penindasan. Jalan yang terbaik baginya adalah membuat kanalisasi, artinya mengurangi desakan kuat sehingga tidak timbul satu kekuatan besar yang dapat menghancurkan eksistensi pemerintah. Hal ini dihabarkan dalam pemberian badan hukum (rechtspersoon) kepada SI, sehingga organisasi ini leluasa menjalankan kegiatan tanpa ada hambatan dari pihak manapun. Idenburg hanya mau memberi badan hukum pada cabang-cabang SI, sedangkan Central Sarekat Islam (CSI) baru akan diberikan kemudian. Ini berarti bahwa hanya cabang lokal yang diakui secara resmi dan hubungan antar cabang dan koordinasi dari CSI diperlemah.[63]
Dalam kongres SI taun 1914 di Yogyakarta Cokroaminoto terpilih sebagai pimpinan SI. Gejala konflik internal telah timbul dipermukaan dan kepercayaan teradap CSI mulai berkurang. Namun Cokroaminoto tetap mempertaankan keutuhan dengan mengatakan bawa kecenderunganuntuk memisakan diri dari CSI harus dikutuk. Kerenanya perpecaan harus dihindarkan, persatuan arus dijaga karena islam sebagai unsure penyatu.[64]
Walaupun Tjokroaminoto memiliki kekuasaan penuh sebagai ketua SI, tetapi dia sangat berhati-hati mengambil tindakan. Segala tindakan diperhitungkan secara diplomatis dan dengan penuh antisipasi jauh ke depan. Tjokroaminoto tidak pernah menyebutkan secara eksplisit tujuan politik SI sampai tahun 1915 karena adanya larangan berdirinya organisasi politik dari pemerintah kolonial.
Pada bulan Juni 1916 di Bandung, diadakan kongres yang dihadiri oleh 80 SI lokal yang meliputi 360.000 orang anggota. Kongres itu merupakan “Kongres Nasional” kerena SI mencita-citakan supaya penduduk Indonesia menjadi satu natie atau suatu bangsa dengan kata lain mempersatukan etnik Indonesia menjadi bangsa Indonesia.[65]
Dalam pidatonya pada kongres di Bandung tahun 1916, Tjokroaminoto mengemukakan bahwa “bangsa” nya memiliki sifat suka menghinakan diri dan secara berlebihan merendahkan diri. Oleh karena penjajahan yang berabad-abad, tumbullah ini sebagai sifat dasar bagi rakyat.[66] Peran pemersatu juga dimainkan oleh Tjokroaminoto terhadap pengurus SI. “keinginan yang tunggal ialah mempertahankan kesatuan di dalam organisasi dan untuk menjalankan ini ia dapat dan telah menyetujui pandangan semua orang” kata Robert van Niel.
Sebelum diadakan kongres selanjutnya tahun 1917 di Jakarta muncul aliran revolusioner sosialistis yang diwakili oleh Semaun yang pada waktu itu menjadi ketua SI lokal Semarang. Namun kongres itu tetap memutuskan bahwa azas perjuangan SI ialah mendapatkan zelf bestuur atau oemerintahan sendiri. Selain ditetapkan juga azas ke dua berupa Strijd tegen overheersing ven het zondig kapitalisme atau perjuangan melawan penjajah dari kapitalisme yang jahat. Sejak saat itu pula Tjokroaminoto dan Abdul Muis mewakili SI dalam Dewan Rakyat.[67]
Sikap koperasi yang mula-mula dijalankan oleh Sarekat Islam ini dengan tujuan yang lebih penting lagi yaitu:”berangsur-angsur memperbesar kekuasaan Volksraad sampai menjadi Dewan Rakyat yang sebenar-benarnya, yang anggota-anggotanya terus dipilih oleh rakyat”. Tjokroaminoto dan Muis bahu-membahu memperjuangkan keinginan para peserta kongres nasional CSI.[68]
Tjokroaminoto dan Muis juga membawa suara kongres ke siding kongres Volksraad mengenai tuntutan pemerintahan sendiri untuk rakyat Indonesia, tuntutan memilih untuk semua penduduk laki-laki yang telah berumur 21 tahun, selain itu juga penghapusan Dewan Daerah, hak melakukan pemeriksaan dan hak meminta keterangan untuk Volksraad, susunan anggota Volksraad harus ada perbandingan.
Merasa tuntutan-tuntutannya tidak dianggapai secara serius oleh pemerintah, Tjokroaminoto berusaha menggalang persatuan dengan organisasi-organisasi lain seperti Boedi Utomo dan Insulinde dengan membentuk Radicale Concentartie. Gerakan ini bertujuan untuk menyusun parlementaire-combinatie, unuk menuntut terbentuknya parlemen sejati yang disusun oleh rakyat dan dari rakyat dan yang mempunyai hak penuh untuk menentukan undang-undang.[69]
Dua hari sesudah pembentukan badan itu, ada kawat dari negeri Belanda yang lebih terkenal dengan peristiwa “November-belofte”, untuk menanggapi surat kawat ini, maka pada 25 November 1918, di dalam Volksraad lahirlah mosi Tjokroaminoto yang berbunyi:
Voolksraad
Menimbang telah sampainja masanja mengadakan perubahan jang besar  dalam suasana pemerintahan jang benar dalam negeri ini;
Berpendapat bahwa setjepat-tjepatnya harus disusunnja suatu parlement jang dipilih di antara dan oleh rakjat dengan hak menentukan  hukum sepenuh-penuhnja dan dibangunkan suatu pemerintahan jang menanggung djawab pada Perlement tersebut.
Mengharapkan kepeda pemerintah supaja dengan bekerdja bersama-sama dengan perhimpunan-perhimpunan supaja politik dalam negeri ini (Indonesia), mendjalankan daja-daja jang diperlakukanja, agar supaja susunan pemerintah baru jang dinjatakan oleh Volksraad, dapatlah dibangunkan pada waktu sebelum akhirnja mandate daripada volksraad jang sekarang, jakni sebelum tahun 1921 dan mengharapkan supaja mosi ini dimaklumkan dengan kawat kepada Opper-bertuur.[70]
Pemerintah kolonial tidak pernah menanggapi dengan serius mosi Tjokroaminoto dan mosi lain yaitu mosi Achmad Djajadiningrat. Pemerintah selalu menjawab tunggu dulu. Mosi-mosi tersebut tidak pernah langsung dibicarakan dalam Volksraad.
Sementara itu pengaruh Semaun makin menjalar ke tubuh SI. Dikatakannya bahwa pertentangan yang terjadi bukan antara penjajah dan terjajah tetapi juga anatara kapitalis dengan buruh. Karena itu perlu memobilisasikan kekuatan buruh dan tani. Di dalam kongres SI tahun 1919, SI memperhatikan gerakan buruh Sarekat Sekerja (SS), karena SS akan memperkuat kedudukan partai politik dalam menghadapi pemerintahan kolonial, kemudian terbentuklah persatuan SS yang beranggotakan SS pegadaian dan SS pegawai Pabrik Gula. Dan SS Pegawai Kereta Api.[71] Selanjutnya perubahan-perubahan dalam tubuh SI dapat dilihat dari kongres-kongresnya.
Akhir tahun 1919 diselenggarakan kongres. Suasana kongres lesu namun sementara itu perjuangan SI tetap ditegakkan dengan landasan perjuangan antar bangsa yang ini berarti perjuangan melawan pemerintah kolonial harus terus dilakukan. Di dalam tahun itu pula pengaruh sosialis-komunis telah masuk ke tubuh SI pusat maupun cabang-cabangnya, setelah aliran itu mempunya wadah dalam organisasi yang disebut ISDV. Pada 23 Mei 1920 ISDV berganti nama menjadi Partai Komuinis Indonesia (PKI)[72]. Perubahan nama ini mengindikasikan bahwa ISDV benar-benar telah menjadikan sosialis-komunis sebagai haluan politiknya. Semaun sendiri terpilih sebagai ketua umumnya.
Sepak terjang Tjokroaminoto dan Muis rupanya membuat pemerintah kolonial gerah. Maka ketika terjadi peristiwa Toli-Toli dan Sarekat Islam Afdeling B, kedua tokoh pergerakan tersebut ditangkap dengan alasan terlibat. Pemberontakan tersebut dan pemberontakan yang terjadi di Kalimantan Barat, Jambi, Kudus, Demak dan lain-lain dianggap disulut oleh SI, padahal karena paceklik. Banyak tokoh-tokoh SI dipenjarakan, bahkan Tjokro sendiri dipenjarakan selama delapan bulan pada tahun 1920. Tjokroaminoto selaku pemimpin  SI dipersalahkan karena dengan sengaja telah membiarkan pembuat huru-hara bergejolak. Akibat peristiwa-peristiwa tersebut banyak anggota SI lari ke organisasi lain. Ketika inilah kemunduran SI sebagai pergerakan nasional bermula.[73]
Selain SI Afdeling B, CSI juga dituduh terlibat dalam peristiwa ini. Sosrokardono, sekretaris CSI dituduh terlibat hingga kemudian ditangkap oleh pemerintah kolonial. Ia kemudian diadili dan dihukum penjara 4 tahun. HOS Cokroaminoto juga dihukum karena dianggap memberi keterangan palsu.[74]
PKI sendiri sesungguhnya juga menghendaki perdamaian. Salah satu hal yang dilakukan ialah mengecam Darsono tentang caranya mengkritik Cokroaminoto.[75] PKI menganggap bahwa pers Eropa telah membesar-besarkan kritik Darsono tersebut dengan tujuan melemahkan perjuangan SI maupun PKI.
Guna memulihkan hubungan itu pimpinan CSI mengadakan rapat di Yogyakarta pada 17 Januari 1921.[76] Dalam pertemuan tersebut disepakati 4 butir kesepakatan Semaun-Salim[77]. Selain itu disepakati pula CSI akan mengadakan kongres di Yogyakarta pada 2-6 Maret 1921 khusus untuk membahas pertikaian tersebut.
Kongres CSI 2-6 Maret berlangsung sesuai rencana di Yogyakarta. Darsono  meminta maaf atas kritik tajamnya kepada Cokroaminoto. SI Yogyakarta juga membatalkan niatnya untuk memberlakukan disiplin partai. Perdamaian antara SI dan PKI bisa terwujud sementara.
Kondisi damai ini rupanya tidak bertahan lama. Pada Kongres luar biasa SI 6-10 Oktober 1921 di Surabaya, konflik kembali pecah akibat tidak tercapainya kesepakatan mengenai federasi buruh.[78] Hubungan SI dan PKI kembali merenggang. Perpecahan di dalam tubuh SI tidak dapat dihindari lagi antara sayap komunis dan pengurus pusat SI. Semaoen dan beberapa tokoh sayap kiri menolak disiplin partai yang akan dilaksanakan oleh H.A Salin dan Muis. Ini akan merugikan Semaoen yang mencoba mempengaruhi anggota-anggota SI untuk sekaligus sebagai anggota PKI. Namun SI pun mengalami banyak kerugian. Dengan dijatuhkannya keputusan bahwa orang-orang PKI tidak berhak menjadi anggota Sarekat Islam. Mereka mengubah diri mereka menjadi Sarekat Rakyat. Dibeberapa daerah juga Sarekat Islam Merah sebagai tandingan tehadap Sarekat Islam yang di pimpin oleh Tjokro-Salim-Muis.[79] Perpecahan ini memang sudah berakar lama, hanya karena kepiawaian Tjokro waktu itu, perpecahan di tubuh SI dapat ditunda.
Konflik tersebut diperparah dengan ketidakhadiran Cokroaminoto yang harus ditahan akibat peristiwa Afdeling B.[80] Hal ini membuat SI Yogyakarta pimpinan Agus Salim menguasai kongres sehingga dengan leluasa menerapkan kebijakan disiplin anggota. Sejak saat itu, anggota SI dilarang untuk menjadi anggota organisasi lain. Semaun beserta SI Semarang menolak keras disiplin anggota tersebut. Sejak saat itu, SI resmi pecah menjadi dua, yaitu SI Putih pimpinan Agus Salim yang berpusat di Yogyakarta, dan SI Merah pimpinan Semaun yang berpusat di Semarang.
Perpecahan-perpecahan yang menimpa SI dan serangan-serangan baik dari kaum komunis maupun kaum nasionalis-sekuler, melecut tokoh-tokoh SIuntuk mengadakan konsolidasi. Untuk itu dilangsungkan Al-Islam Congres pada tahun 1921 dengan tujuan mengurangi bahaya perselisihan tentang soal-soal Furu dan chilafiyah, serta mengusahakan terciptanya persatuan aliran dan kerjasama diantara kaum muslimin terhadap soal-soal yang mengenai agama Islam. Pimpinan kongres berada di tangan HOS Tjokroaminoto dan HA Salim, ketika itu, HOS Tjokroaminoto berpidato antara lain: “Bukanlah sekali-kali maksud saya dalam kongres ini akan membuat propaganda yang bersifat politik semata-mata, tetapi dari karena bahagian terbesar daripada perikemanusiaan yang menanggung sengsara dalam pelbagai bahagian dunia….”. Al-Islam kongres yang kedua dilangsungkan di Garut pada tahun 1922, guna mengesahkan peraturan-peraturan Central Comite Al-Islam yang bertujuan “akan merapatkan persatuan dan persaudaraan di antara pemuka-pemuka dan perhimpunan Islam di Indonesia.[81] Hal ini merupakan salah satu usaha untuk menyatukan lagi umat muslim dalam paying Islam.
Perpecahan ini benar-benar melemahkan SI secara keseluruhan. SI Merah kemudian bergabung dengan PKI terutama karena faktor Semaun. Perjuangan mereka terus berkembang hingga terjadi perlawanan PKI pada tahun 1927. SI Putih sendiri gagal mempertahankan hegemoni mereka. Pada 1923 di Madiun memutuskan bahwa Central Sarekat Islam berubah menjadi Partai Sarekat Islam (PSI).[82] Hanya saja PSI tidak mampu berkembang menjadi sebesar SI dan cenderung mengalami kegagalan. Azas perjuangan PSI adalan nonkoperasi artinya organisasi ini tidak mau bekerjasama dengan pemerintah kolonial, tetapi mengizinkan anggotanya duduk dalam Dewan Rakyat atas nama diri sendiri.


[1] D.A. Winda. 2009. Profil 143 pahlawan Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Timur, hlm 42
[2] Amelz, H.O.S. Tjokroaminoto, hidup dan perjuangannya, I-II (Jakarta Bulan Bintang,t.t.), hlm 48-50
[3] D.A. Winda. Op.Cit, hlm 42
[4] Parakitri T. Simbolon.  Menjadi Indonesia. Jakarta: Kompas, hlm 560
[5] Mansyur Amin. 1992. “Visi Tjokroaminoto Tentang Masa Depan Indonesia Merdeka”. “Al-Jami’ah”. No 50, hlm 49
[6] Amelz, H.O.S. Op.cit, hlm 51
[7] Anhar Gonggong, H.O.S. Tjokroaminoto (Jakart, Depdikbud, 1985), hlm 12
[8] Mansyur Amin. HOS. Tjokroaminoto Rekonstruksi Pemikiran dan Perjuangannya. Yogyakarta: Cokroaminoto university Press, hlm 12
[9] Mansyur Amin. Op.Cit, hlm 12
[10] Anhar Gonggong, op.cit., hlm. 12
[11] Mansyur Amin. Op.cit, hlm 13
[12] D.A. Winda. op.cit., hlm 42
[13] Parakitri T. Simbolon.  Menjadi Indonesia. Jakarta: Kompas, hlm 561
[14] Mansyur Amin. HOS. Tjokroaminoto Rekonstruksi Pemikiran dan Perjuangannya. Yogyakarta: Cokroaminoto university Press, hlm14
[15] Mansyur Amin. 1992. “Visi Tjokroaminoto Tentang Masa Depan Indonesia Merdeka”. “Al-Jami’ah”. No 50, hlm 48-49
[16] Mansyur Amin. HOS. Tjokroaminoto Rekonstruksi Pemikiran dan Perjuangannya. Yogyakarta: Cokroaminoto university Press, hlm14
[17] Mansyur Amin. 1992. “Visi Tjokroaminoto Tentang Masa Depan Indonesia Merdeka”. “Al-Jami’ah”. No 50, hlm 48-49
[18] Anhar Gonggong, H.O.S. Tjokroaminoto (Jakart, Depdikbud, 1985), hlm 17
[19] Amelz, H.O.S. Tjokroaminoto, hidup dan perjuangannya, I-II (Jakarta Bulan Bintang,t.t.)
[20] Mansyur Amin. 1992. “Visi Tjokroaminoto Tentang Masa Depan Indonesia Merdeka”. “Al-Jami’ah”. No 50, hlm 54
[21] Ibid., hlm 54
[22] Mansyur Amin. Op,cit.,hlm 54
[23] Mansyur Amin. 1992. “Visi Tjokroaminoto Tentang Masa Depan Indonesia Merdeka”. “Al-Jami’ah”. No 50, hlm 51
[24] M.C. Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. 2008. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, hlm 348
[25] Parakitri T. Simbolon.  Menjadi Indonesia. Jakarta: Kompas, hlm 570
[26] D.A. Winda. 2009. Profil 143 pahlawan Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Timur, hlm 42
[27] Mansyur Amin. HOS. Tjokroaminoto Rekonstruksi Pemikiran dan Perjuangannya. Yogyakarta: Cokroaminoto university Press, hlm 29
[28] H.O.S Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme , hlm 7. Dalam Mansyur Amin. HOS. Tjokroaminoto Rekonstruksi Pemikiran dan Perjuangannya. Yogyakarta: Cokroaminoto university Press, hlm 30
[29] Mansyur Amin. Op.cit, hlm 36-37
[30] H.O.S. Tjokroaminoto, Tafsir Program Asas dan Program Taudhin PSII hlm 63-64 dalam Mansyur Amin. HOS. Tjokroaminoto Rekonstruksi Pemikiran dan Perjuangannya. Yogyakarta: Cokroaminoto university Press, hlm 36
[31] Mansyur Amin. Ibid., hlm 38
[32] Mansyr Amin Ibid.,, hlm 39
[33] Mansyur Amin. Ibid., hlm 47
[34] Mansyur Amin. Ibid.,hlm 54
[35] Parakitri T. Simbolon.  Menjadi Indonesia. Jakarta: Kompas, hlm 260
[36] M.C. Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, hlm 347
[37]Organisasi jaga malam milik pedagang Bumiputra yang didirikan oleh Haji Samanhudi yang merupakan seorang pedagang dan pengusaha batik yang terpandang di lawean, Surakarta.
[38] Organisasi tolong menolong untuk penguburan milik pedagang China
[39] Parakitri T. Simbolon.  Menjadi Indonesia. Jakarta: Kompas, hlm 560. Masuknya H. Samanhoedi ke dalam organisasi Kong Sing sebetulnya gara-gara BO. Sebagai pedagang dan pengusaha batik yang terpandang, Haji Samanhoedi diminta menjadi anggota BO cabang Surakarta, berkat pengaruhnya, BO Surakarta mampu menghimpun anggota sekitar 1.000, khawatir BO akan mendirikan koperasi pedagang batik yang kuat bersaing, Kong Sing menbujuk Samanhoedi menjadi anggotanya. Samanhoedi menerimanya. Di Bawah pengaruhnya, hampir seluruh pedagang batik Bumiputa menjadi anggota Kong Sing sehingga jumlahnya melampaui yang China. Namun demikian, mereka akhitnya keluar dari Kong Sing, ketika para anggota China mulai tampak bertingkah akibat revolusi nasional Tiongkok.
[40]SDI atau Sarekat Dagang Islam adalah Organisasi yang didirikan oleh Tirto Adhi Soerjo yang bertujuan sebagai perkumpulan para warga merdeka, Kaoem Mardika (Vrije Burgers) di Hindia Belanda
[41] Parakitri T. Simbolon.  Menjadi Indonesia. Jakarta: Kompas, hlm 261
[42] Ibid., hlm 261
[43] Kuntowijoyo. Raja Priyayi dan Kawula. 2006. Yogyakarta: Ombak. Hlm 110-111
[44]Ruth McVey, Kemunculan Komunisme Indonesia. Jakarta: Komunitas Bambu, 2009, hlm. 16
[45] Asvi Warman Adam. 2007. Seabad Kontroversi Sejarah. Yogyakarta. Ombak. Hlm.  25
[46] Sartono Kartodirjo. 1999.  Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama 107
[47] Lihat A.P.E. Kover, hlm 21 dalam Mansyur Amin. HOS. Tjokroaminoto Rekonstruksi Pemikiran dan Perjuangannya. Yogyakarta: Cokroaminoto university Press, hlm 61
[48] Parakitri T. Simbolon.  Menjadi Indonesia. Jakarta: Kompas, hlm 263
[49] Ibid., hlm 268
[50] Ibid., hlm 561
[51] Ibid., hlm 268
[52] Mansyur Amin. HOS. Tjokroaminoto Rekonstruksi Pemikiran dan Perjuangannya. Yogyakarta: Cokroaminoto university Press, hlm 62
[53] Parakitri T. Simbolon.op.cit., hlm 268
[54] Mansyur Amin. HOS. Tjokroaminoto Rekonstruksi Pemikiran dan Perjuangannya. Yogyakarta: Cokroaminoto university Press, hlm 63
[55] Mansur Suryanegara, Ahmad. Api Sejarah. 2009. Bandung: Salamadani. Hlm 371
[56] Parakitri T. Simbolon.op.cit., hlm 284
[57] Ibid., hlm 269
[58] Mansyur Amin. HOS. Tjokroaminoto Rekonstruksi Pemikiran dan Perjuangannya. Yogyakarta: Cokroaminoto university Press, hlm 64
[59] Muhammd Hisyam. Indonesia dalam Arus Sejarah 5 Masa Pergerakan Kebangsaan. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, hlm 344-345
[60] Mansyur Amin. HOS. Tjokroaminoto Rekonstruksi Pemikiran dan Perjuangannya. Yogyakarta: Cokroaminoto university Press, hlm 64
[61] M.C. Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, hlm 349
[62] Parakitri T. Simbolon.  Menjadi Indonesia. Jakarta: Kompas, hlm 371
[63] Suhartono. Sejarah Pergerakan Nasional dari Budi Utomo sampai Proklamasi 1908-1945. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, hlm 35
[64] Ibid., hlm 35
[65] Ibid., hlm 36
[66] Mansyur Amin. HOS. Tjokroaminoto Rekonstruksi Pemikiran dan Perjuangannya. Yogyakarta: Cokroaminoto university Press, hlm 67
[67] Suhartono. Op.cit., hlm 36
[68] Mansyur Amin. HOS. Tjokroaminoto Rekonstruksi Pemikiran dan Perjuangannya. Yogyakarta: Cokroaminoto university Press, hlm 64
[69] Mansyur Amin. HOS. Tjokroaminoto Rekonstruksi Pemikiran dan Perjuangannya. Yogyakarta: Cokroaminoto university Press, hlm 64
[70] Ibid., hlm 71
[71] Suhartono. Op.cit., hlm 36
[72] Ruth McVey, Kemunculan Komunisme Indonesia. Jakarta: Komunitas Bambu, 2009 Hlm. 78
[73] Amelz, H.O.S. Tjokroaminoto, hidup dan perjuangannya, I-II (Jakarta Bulan Bintang,t.t.), hlm 110
[74] Suhartono. Sejarah Pergerakan Nasional dari Budi Utomo sampai Proklamasi 1908-1945. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, hlm. 53
[75] Parakitri, Op Cit., Hlm. 325
[76] Ibid.,
[77] McVey. Op Cit., Hlm. 161
[78] Parakitri, Op Cit., Hlm. 326
[79] Anhar Gonggong, op.cit., hlm. 48-49
[80] Parakitri, op.cit., hlm 326
[81]Amelz, op.cit,. hlm. 122-123

[82] Suhartono. Op Cit., Hlm. 37
Share:  

0 komentar:

Posting Komentar