LATAR BELAKANG KEHIDUPAN HOS
TJOKROAMINOTO
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEghuaC8a4EmvBW8tWUwI251X7tuAeASjVjkDHeTaP8Xvnbqu3hYLpl1LDtkdzUc0o9CLsyXdMTuGJ29-ExgEn5jHQtPmpiyV1Ez73e1XP5dvsuPsQDK07mMfeI3acIqH7T1J1Cg7Xkx08w/s1600/cokroaminoto_1.jpg
A.
H.O.S Tjokroaminoto
Omar
Said Tjokroaminoto lahir di Madiun, pada tanggal 16 Agustus 1883. Putra seorang
wedana dan cucu R.M. Adipati Tjokronegoro, bupati Ponorogo. Setelah menamatkan
pendidikan dasar, beliau melanjutkan sekolah ke OSVIA Magelang.[1]
H.O.S
Tjokroaminoto merupakan anak kedua dari dua belas bersaudara. Mereka adalah
(Secara Berurutan dari yang tertua) R.M. Oemar Djaman Trokroprawiro, R. Aju
Trokrodisoerjo (ketiga), R.M. Poerwadi Tjokrosudidjo, R.M.O. Sabib
Tjokrosoepardjo, R.A. Adiati, R. Aju Martowinoto, R.M. Abikoesno Tjokrosoejoso,
R. Adjeng Istingatin, R.M. Poerwati, R. Adjeng Istidjah Tjokrosoedarmo, dan
R.A. Istiroh Mohammad Sobari. Diantara mereka yang mengikuti jejak
Tjokroaminoto malang melintang di dunia pergerakan adalah Oemar Sabib dan R.M.
Abikoesno Tjokrosoejoso. Sedangkan saudaranya yang lain mengikuti jejak ayahnya
sebagai bupati, wedana, pegawai tinggi maupun yang lain.[2]
Pada
tahun 1902 beliau memulai kariernya sebagai juru tulis di Ngawi.[3] Ia
hanya tiga tahun dalam pekerjaan itu karena tidak kuat melakukan sembah dan
jongkok kepada atasan, tatakrama dikalangan penguasa Bumiputra yang masih
bertahan waktu itu.[4]
Tjokroaminoto pada saat
itu dihadapkan pada kultur dan struktur kolonialisme yang direkayasa secara
berencana oleh pemerintah kolonial untuk menjajah bangsa Indonesia. Essensi
budaya kolonialisme adalah eksploitasi ekonomi, dominasi politik, diskriminasi
sosial dan assosiasi (pembaratan) cultural. Kolonialisme di dukung oleh kultur
dan struktur feodalisme, dimana pemerintah kolonial memanfaatkan letundukan
rakyat kepada penguasa pribumi dalam menjalankan roda pemerintahannya untuk
melakukan eksploitasi kekayaan bangsa Indonesia.[5]
Sebagai
seorang anak priyayi, Tjokroaminoto dijodohkan oleh orangtuanya dengan anak
priyayi pula yaitu Soeharsikin, putrid seorang wakil bupati Ponorogo yang
bernama Raden Mas Mangoensoemo. Patih ini dikenal sangat pemberani dan disegani
walaupun bertugas di daerah Ponorogo yang terkenal gawat dengan ulah warok dan
perampok-perampok yang hampir tiap hari membuat ricuh di masyarakat.[6]
Keteguhan
dan kecintaan R.A. Soeharsikin kepada suaminya dibuktikan sejak awal masa
pernikahannya yang dipaksa memilih antara berpisah dengan orang tuanya atau
dengan Tjokroaminoto, bagai memilih buah simalakama. Hal ini terjadi ketika
Tjokroaminoto berselisih dengan mertuanya. Perselisihan ini bermula dari
pebedaan pandangan antara keduannya. Tjokroaminoto tidak berhasrat menjadi
birokrat, sedangkan mertuanya menginginkan Tjokroaminoto menjadi birokrat,
sebab mertuanya masih bersikap kolot dan cenderung elitis.[7]
Jurang
pemisah diantara keduanya pun makin melebar dan semakin sulit untuk
dijembatani. Sadar akan kenyataan yang dihadapinya ini, Tjokroaminoto pun
mengambil tindakan nekat. Dia meninggalkan rumah kediaman mertuanya yang juga
menjadi kediamannya selama ini walaupun ketika itu istrinya sedang mengandung
anknya yang pertama.[8]
Tindakan
nekat Tjokroaminoto ini menimbulkan kemarahan besar mertuanya, bahkan
kebencian. Mangunsoemo memaksa anaknya, Soeharsikin untuk bercerai dengan
Tjokroaminoto, sebab kepergiannya membuat malu dan mencoreng martabat dan
kehormatan keluarga. Dihadapkan pada situasi sulit ini, Soeharsikin secara
tegas tetap memilih suaminya, Tjokroaminoto.[9]
Secara
diplomatis Soeharsikin menjawab:
Ayahanda!
Dahulu ananda dikawinkan oleh ayah-bunda dengan Mas Tjokro, padahal ananda pada
waktu itu tidak mengenalnya. Ananda ta’ati! Kini ananda pun tetap taat.
Kalau
ayah-bunda menceraikan ananda dengan Mas Tjokro baiklah, tetapi…. Seumur hidup,
ananda tidak mau kawin lagi. Oleh karena dunia dan akhirat, suami ananda
hanyalah Mas Tjokro semata.[10]
Dalam
pengembaraannya, Tjokroaminoto sampai kota Semarang. Untuk menyambung hidupnya,
ia tidak segan-segan menjadi kuli pelabuhan. Malahan pengalaman yang tak
terlupakan ini mendorongnya untuk memperhatikan kehidupan kaum buruh aik di
perkebunan, kereta api, pengadilan, pelabuhan dan sebagainya ketika ia
berkecimpung di dunia pergerakan. Bukankah Tjokroaminoto telah merasakan
sendiri kehidupan sebagai buruh? Dia lah yang mempelopori berdirinya “Sarekat
Sekerja” yang bertujuan mengangkat harkat kaum buruh.[11]
Mendengar
kelahiran anaknya, Tjokro kembali ke kediaman mertuanya untuk menjemput anak
dan istrinya. Akhirnya Tjokro dan keluarga menetap di Surabaya, walaupun dalam
suasana sederhana, keluarga ini sangat harmonis dan bahagia. Di Surabaya Tjokro
bekerja di sebuah perusahaan dagang sambil belajar di sekolah malam hari
setingkat HBS. Setelah menyelesaikan sekolah malamnya, beliau bekerja sebagai
teknisi di pabrik gula Rogojampi dari tahun 1907-1912.[12]
Untuk mempertahankan
dapur, istrinya menerima pemondok. Pekerjaan istrinya itu berlangsung terus,
kendati Tjokroaminoto telah masyhur sebagai pimpinan politik.[13] Pelajar
yang mondok di rumah Tjokroaminoto sekitar 20 orang. Kebanyakan mereka
bersekolah di M.U.L.O, H.B.S dan M.T.S.[14]
H.O.S Tjokroaminoto
adalah tokoh yang melahirkan kader-kader bangsa. Beberapa pelajar bertempat
tinggal di rumah Tjokro[15]
dan di rumah ini mereka tidak hanya makan dan tidur di rumah Tokroaminoto,
tetapi juga berdiskusi baik dengan sesame maupun dengan Tjokroaminoto. Mereka
saling mempengaruhi dan memberi wawasan yang lebih luas.[16] Mereka
melakukan percakapan tentang masa depan Indonesia yang dipandu oleh beliau
sendiri. Termasuk diantara mereka itu adalah Ir. Soekarno yang kemudian menjadi
presiden pertama Republik Indonesia.[17]
Soekarno melukiskan
kehidupan dalam keluarga Tjokroaminoto sebagai berikut:
Pak Tjokro
semata-mata bekerja sebagai Ketua Sarekat Islam, dan penghasilannya tidak
banyak. Dia tinggal di kampong yang penuh sesak tidak jauh dari sebuah kali.
Menyimpang dari jalanan yang sejajar
dengan kali itu ada sebuah gang deretan rumah di kiri kanannya yang
terlalu sempit untuk jalanan mobil. Gang kami namanya gang 7 Peneleh. Pada
seperempat pevilium setengah melekat. Rumah itu dibagi menjadi sepuluh
kamar-kamar kecil, termasuk ruang loteng. Keluarga pak Tjokroaminoto tinggal di
depan. Kami yang bayar makan, di belakang. Sungguhpun semua kamar sama
melaratnya, akan tetapi anak-anak yang sudah bertahun-tahun bayar makan
mendapat kamar yang namanya saja lebih baik. Kamarku tidak pakai jendela aku
terpaksa menghidupkan lampu uterus menerus sekalipun di siang hari. Duniaku
yang gelap ini mempunyai sebuah meja goyah tempatku menyimpan buku, sebuah
kursi kayu sangkutan baju dan sehelai tikar rumput. Tidak ada kasur dan tidak
ada bantal.[18]
Sekalipun demikian,
Tjokroaminoto juga halus perasaannya, beliau menyukai music tradisional Jawa.
Sebagai orang Islam, Tjokroaminoto dikenal juga sebagai pembawa kebudayaan
Jawa. Dalam hal ini Ki Hajar Dewantara menulis kesan-kesannya mengenai
Tjokroaminoto:
…Kanda
Tjokroaminoto tidak asing dalam hal
kesusastraan dan wajang (drama) serta karawitan…kebudajaan asli jang masih
hidup di daerah Djawa. Itulah …pribadi almarhum Tjokroaminoto sebagai seorang
Islam-nasionalis,…adalah gambarannya Sultan Agung pula,…sebagai “radja aulia”
di kalangan orang-orang Djawa…jang menjebabkan rakjat djelata dan rakjat jang
bertingkat menaruh keperjaan…terhadap diri Tjokroaminoto… jang menjebabkan
“Sarekat Islam”… dalam waktu setengah tahun sadja sudah beranggautakan setengah
djuta orang).[19]
Tidak hanya dari
kalangan bangsa Indonesia, seorang Belanda yang notabene adalah penjajah, juga
tidak dapat menyembunyikan rasa kagum pada diri Tjokroaminoto.
H.O.S Tjokroaminoto
memiliki Visi tentang masa depan Indonesia merdeka. Pertama, negara Indonesia merdeka harus bersifat demokratis, baik
secara politisi maupun ekonomis. Artinya keinginan secara politis bangunan
negara dibangun diatas keinginan dan sesuai dengan aspirasi dan inspirasi
rakyat banyak, bebas dari dominasi kekuasaan asing, pembangunan ekonomi
hendaknya benar-benar berorientasi pada kepentingan rakyat banyak dan non
kapitalistik, tidak ada proteksi, monopoli dan riba.[20]
Kedua,
dalam
Indonesia merdeka bangunan kemasyarakatannya harus bersifat persaudaraan,
kemerdekaan dan persamaan, tidak diskriminatif. Sedangkan bangunan budayanya
harus dilandasi dengan nilai-nilai yang mengangkat harkat manusia dan mertabat
bangsa. Segala tradisi dan adat istiadat yang feodalistik dan yang oleh beliau
disebut sebagai jahiliyah modern tidak dibenarkan tambah subur di alam Indonesia
merdeka.[21]
Ketiga,
pendidikan
yang diidealkan oleh Tjokro adalah pendidikan system sekolah yang di dalamnya
diajarkan ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum, dengan tujuan
membentuk manusia Indonesia sejati, berjiwa merdeka, demokratis dan berwawasan
luas, namun tetap religious, dan cinta tanah air.[22]
Sesui dengan tuntutan
zaman dalam kultur dan struktur kolonialisme pada saat itu, maka masa depen
Indonesia merdeka menurut visi Tjokroaminoto merupakan antithesis terhadap
kultur dan struktur kolonialisme tersebut. Tjokroaminoto tidak menyukai
eksploitasi ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial dan
pengusaha-pengusaha asing terhadap bangsa Indonesia, sebagaimana ia tidak
menyukai adanya dominasi politik oleh pemerintah kolonial terhadap wilayah dan
kedaulatan bangsa Indonesia.[23]
Tjokoaminoto
kadang-kadang dianggap sebagai Ratu Adil, ‘raja yang adil’ yang diramalkan oeh
tradisi mesianik Jawa, yang disebut Erucakra (yaitu, nama yang sama dengan Cakra-aminata, Tjokroaminoto).[24] Konon H.O.S Tjokroaminoto sudah luas dianggap
sebagai Ratu Adil, sehingga rakyat berlomba menyentuh pakaiannya, bahkan
mencium kakinya. Hal ini bukan saja karena keandalannya dalam berpidato, tetapi
karena beberapa faktor lain yang tampak seperti kebetulan. Diantaranya adalah
namanya sendiri, Tjokro, dengan mudah dianggap menunjuk pada Prabu Heru Cokro,
Ratu Adil yang dikenal dalam cerita rakyat Jawa, Karena Tjokro berbicara atas
nama Islam, maka hal itu juga dengan mudah dianggap sebagai pertanda dari Imam
Mahdi, sejenis Ratu Adil juga dalam peradaban Muslim.[25]
Beliau dikenal sebagai
orator ulung yang mampu memikat pendengarnya. Oleh pemerintah Hindia Belanda
beliau dijuluki de ongekroonde koning van
Jawa (Raja Jawa tanpa Mahkota). Besarnya pengaruh SI di bawah pimpinan
Tjokroaminoto membuat pemerintah Hindia Belanda berusaha menghambat
perkembangan organisasi tersebut dengan memutus hubungan antara pengurus pusat
dan pengurus daerah. Sikap politik SI terhadap pemerintah Hindian Belanda
adalah moderat.[26]
B.
Pemikiran dan Karya H.O.S Tjokroaminoto
Tjokroaminoto
ternyata tidak hanya sebagai orator ulung atau organisator pergerakan belaka,
melainkan juga sebagai penulis yang tajam dan produktif. Hal ini karena ia juga
aktif dalam dunia pers. Diantara karya tulisnya antara lain:
1. Islam
dan Sosialisme (104 hlm)
2. Tarich
agama Islam, Riwayat dan Pemandangan atas kehidupan dan perjalanan Nabi
Muhammad saw (203 hlm)
3. Program
Asas dan Program Tandhim Partai Sarekat Islam Indonesia (99 hlm)
4. Reglement
Umum Bagi ummat Islam (69 hlm)[27]
Kajian tentang Islam
dan Sosialisme menurut Tjokroaminoto bertujuan untuk: pertama, untuk membangun pengertian dan perasaan ummat Islam, bahwa
agama Islam tidak hanya mengehendaki keselamatan bagi pemeluknya, melainkan
juga keselamatan segenap pergaulan umat manusia dan kemanusiaan bersama. Kedua, untuk menepis anggapan salah yang
menyatakan bahwa agama Islam tidak cakap untuk memajukan hal-hal yang berkaitan
dengan politik, ekonomi dan Sosial.[28]
Dalam bidang keagamaan,
pemikiran H.O.S Tjokroaminoto dapat dilihat dari beberapa segi:
Pertama,
dalam
Bidang tauhid. Dalam bidang ini, seperti yang diungkapkan dalam program tandhim, yaitu bahwa umat
manusia berpegang pada “sebersih-bersih tauhid”. Dengan landasan ini diharapkan
dapat terbentuk kepribadian yang utuh, bebas dari rasa sedih, takut dan hina.
Orang yang beriman harus bangkit rasa harga dirinya.[29]
Kedua,
dalam
bidang ibadat dan syariat. Dalam bidang ibadat, Tjokroaminoto berupaya agar
dunia Islam tidak membesar-besarkan perselisihan dalam masalah furu’ belaka. Sebab
akibat dari hal tersebut, umat Islam lalai terhadap persoalan besar yang
mengancam umat Islam. Selain itu, ia juga berpendapat bahwa Islam adalah agama
dakwah, agama yang harus dikembangakan dan disebarluaskan. Oleh sebab itu,
segala bentuk aturan yang merintangi penyiaran agama islam harus dihilangkan.[30]
Ketiga, hubungan
antara Islam dan kebudayaan Tjokroaminoto mempunyai gagasan yang maju. Islam
ideal bagi Tjokroaminoto adalah Islam yang modern, Islam yang rasional, tetapi
tetap berakar pada tauhid. Hal ini nampak ketika ia mengemukakan pokok-pokok
pikirannya tentang “cultuur dan adat Islam” dalam kongrs PSII ke-19 di Jakarta
tanggal 3-12 Maret 1933.[31]
Dalam
bidang kenegaraan H.O.S. Tjokroaminoto merumuskan bahwa untuk menjalankan Islam
dalam segala aspek kehidupan, bangsa Indonesia harus “bersandar kepada sijasah
(politik) jang berkenan dengan bangsa dan negeri tumpah darah sendiri, dan
politik menudju maksud akan mencapai persatuan atau perhubungan dengan ummat
Islam lain-lain begeri (Pan-Islamisme) agar dapat mencapai kemuliaan dan
keluhuran derajat”.[32]
Dalam
bidang kependidikan menurut tjokroaminoto, ilmu yang harus dituntut oleh umat
Islam adalah :” ilmu jang harus diperoleh dengan setinggi-tingginja kemadjuan
‘aqal (intelect), tetapi tidak sekali-kali boleh terpisah daripada pendidikan
budi-pekerti dan pendidikan ruhani.[33]
Dan
yang terakhir dalam bidang kemasyarakatan. Fondasi sistem kemasyarakatan
menurut Tjokroaminoto adalah tauhid. Dari fondasi tauhid ini kemudian lahir
nilai-nilai persamaan, kemerdekaan dan
persatuan. Bagi Tjokroaminoto segala sesuatu yang berasal dari Allah, untuk
Allah dan kembali kepada Allah.[34]
LAHIRNYA SAREKAT ISLAM DAN PERAN
HOS TJOKROAMINOTO
A. Awal
Berdirinya Sarekat Islam
Berhasilnya
revolusi nasional Tiongkok pada Oktober 1911, membuat orang China di Hindia
Belanda tampil dengan sangat berjaya. Ditambah dengan perdagangan mereka yang
maju. Maka masyarakat China yang sedang penuh rasa percaya diri itu tampil
sebagai ancaman bagi pedagang Bumiputra di Surakarta.[35]
Hubungan China dengan masyarakat Jawa pada umumnya menjadi tegang gara-gara
meningkatnya kesombongan dan kebanggaan yang mereka perlihatkan pada saat
bangkitnya revolusi China.[36]
Kedua kelompok
mulai bentrok. Anggota Rekso Roemekso[37]
sering adu fisik dengan anggota Kong Sing[38].
Rekso Roemekso didirikan oleh Haji Samanhoedi ketika para pedagang Bumiputra
keluar dari Kong Sing tidak lama setelah Oktober 1911.[39]
Mengetahui
adanya perkelahian diantara anggota kedua organisasi tolog menolong itu, polisi
mengusut sah-tidak-nya masing-masing organisasi tersebut. Ternyata Rekso
Roemekso tidak mempunyai status badan hukum karena baik samanhoedi maupun para
anggotanya tidak pernah mengetahui perlunya hal semacam itu. Untuk menghadapi
polisi, Samanhoedi minta tolong Djojomargoso (temannya dan pejabat kepatihan).
Pada gilirannya Djojomargoso minta tolong Marthodarsono, bekas redaktur Medan Prijaji. Marthodarsono mengaku
pada polisi bahwa Rekso Roemekso adalah cabang SDI Bogor,[40] Ketika
polisi minta akte notarisnya, Marthodarsono minta tolong Tirti Adhi Soerjo.[41]
Tirto Adhi Soerjo datang ke Surakarta pada Januari
1912 membawa surat resmi yang diperlukan untuk menjadikan Rekso Roemekso
berstatus badan hukum. Surat resmi ini bertanggal mundur, 9 November 1911 dan
organisasinya disebut Sarekat Islam (SI), walaupun demikian para anggota di
Surakarta tetap menyebutnya Sarekat Dagang Islam.[42]
Dalam buku Raja Priyayi dan Kawula karangan Kuntowijoyo
dijelaskan Sarekat Islam berdiri dalam hubungannya dengan bisnis, berupa usaha
untuk mematahkan monopoli bahan-bahan kimia untuk perusahaan batik dan gerakan
ronda melawan Cina yang menjadi arogan setelah Revolusi Cina tahun 1911. Jadi
SI Surakarta lahir mula-mula karena local
politics, gerakan ekonomi melawan monopoli
dan gerakan keamanan melawan Cina. Baru kemudian SI berkembang menjadi gerakan
politik dan keagamaan.[43]
Pada perkembangan selanjutnya, SI berkembang menjadi
lebih dari sekedar organisasi keagamaan.
Anggota SI kemudian tidak hanya terdiri dari golongan pedagang maupun
orang muslim saja, tapi juga golongan abangan maupun golongan priyayi, terutama
priyayi rendahan.[44]
Hal ini menjadikan orientasi tujuan SI semakin meluas karena telah mencakup
aspek ekonomi, sosial, politik serta kultural[45].
SI juga disebutkan sebagai organisasi yang mampu memobilisasi massa secara
besar-besaran baik di perkotaan maupun pedesaan.[46]
B.
Perjuangan H.O.S Tjokroaminoto dalam
Sarekat Islam
Perjuangan
H.O.S. Tjokroaminoto dalam bidang politik tidak dapat dilepaskan dari Sarekat
Islam (SI). Tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa SI identik dengan
Tjokroaminoto, sebaliknya tanpa Tjokroaminoto, SI tidaklah dapat menjadi
“Partai politik massa” yang disegani oleh teman maupun lawan dan tidak akan
menjadi pelopor kebangunan politik nasional Indonesia pertama. Tjokroaminoto
memiliki andil yang besar, kalau tidak bisa dikatakan terbesar, dalam membangun
SI menjadi pergerakan politik pergerakan politik nasional.[47]
Diawal
berdirinya, kegiatan SI menarik banyak minat orang menjadi anggotanya, yang
mula-mula di Surakarta, kemudian di luarnya. Pemerintah jajahan di daerah itu
mulai cemas perkembangan SI. Residen G.F. Van Wijk menilai keadaan tersebut
sebagai ancaman SI terhadap ketertiban umum (rust en orde). Akhirnya pada 10 Agustus 1912, residen mengumumkan
larangan sementara bagi SI melakukan kegiatan dan menerima anggota baru.[48]
Komisi
pusat SI di Solo berpikir keras mencari jalan keluar dari suasana buntu karena
larangan residen. Dalam hubungan ini, diadakanlah repat dengan mengundang dua
orang dari Surabaya yang sudah menjadi anggota SI pada bulan Mei 1912. Mereka
adalah H.O.S Tjokroaminoto dan Raden Tjokrosoedarmo.[49]
Tentu patut jadi
pertanyaan mengapa Samanhoedi mengundang kedua orang itu, Jawabannya mungkin
terletak dalam keterangan Haji Agoes Salim yang diberikannya kepada Robert Van
Niel di Ithaca pada 1953. Konon, menurut Haji Agoes Salim, Tjokroaminoto sudah
terkenal waktu itu dengan komentar-komentarnya yang berani sebagai anggota
pertunjukan wayang keliling. Selain itu ia dikenal juga sebagai pembicara yang
jujur dan orang yang berani bersikap terhadap pihak penguasa.[50]
Rapat menemukan
satu celah hukum dalam larangan residen tersebut: larangan hanya berlaku untuk
Surakarta. Di luar wilayah itu SI tentu masih boleh dan dapat dikembangkan.
Rapat juga menunjuk Tjokroaminoto sebagai komisaris yang khusus bertugas
membuat anggaran dasar dan akte baru, sekaligus mengembangkan SI di daerah
lain.[51]
Tindakan
Tjokroaminoto untuk menjadapatkan status pengakuan badan hukum untuk SI tersebut
merupakan langkah politis yang jitu dan berwawasan ke depan. Betapa tidak
dengan pengakuan tersebut SI akan memperoleh berbagai keuntungan politis yaitu:
Pertama, sebagai perkumpulan, Sarekat
Islam akan mempunyai wewenang untuk melakukan tindakan hukum perdata. Kedua, pengakuan badan hukum dianggap
sebagai persetujuan resmi pemerintah terhadap perkumpulan yang bersangkutan. Ketiga, sulit bagi suatu perkumpulan
yang tidak diakui untuk mengadakan rapat.[52]
Tjokroaminoto
dan Tjokrosoedarmo berhasil menyusun anggaran dasar baru. Pada tanggal 14
september 1912, Tjokroaminoto mengajukan anggaran dasar itu kepada Residen
Surabaya, dan pada 17 September 1912, Residen Surakarta mencabut larangannya
sambil menyarankan agar disusun anggaran dasar baru yang menegaskan bahwa
kegiatan SI terbatas di Surakarta.[53]
Langakah
berikutnya untuk memperbesar peran Sarekat Islam adalah mengadakan kongres
pertama pada tanggal 26 Januari 1913. Dapatlah dikatakan bahwa kongres akbar SI
ini merupakan perhelatan Tjokroaminoto. Hal ini wajar mengingat Tjokroaminoto
adalah pemimpin SI cabang Surabaya yang sekaligus menjadi tuan rumah kongres.
Tjokroaminoto membikin kongres ini sekaligus sebagai “kampanya politik massa”.[54]
Sejak tahun
1912, SI berkembang pesat. Bernard H.M. Vlekke dalam Nusantara’s History of Indonesian menyatakan bahwa saat itu gerakan
Sarekat Islam disambut oleh rakyat sebagai Revival
of Islam (kebangkitan kembali Islam). Meskipun saat itu sebenarnya rakyat
belum memahami Al-Quran, namun lebih tertarik dengan Sarekat Islam karena lebih merakyat daripada Boedi Oetomo
sebagai gerakan priyayi yang eksklusif menjauh dari rakyat.[55]
Perkembangan SI
yang sangat pesat itu memerlukan reorganisasi. Maka, pada 25 maret 1913
diadakanlah kongres SI di Surakarta. Dalam “Kongres Nasional” CSI yang pertama
itu hadiri 80 SI lokal yang mewakili 360.000 anggotanya. Dalam pidatonya,
Tjokroaminoto yang kemudian terpilih sebagai ketua menjelaskan, kata “nasional”
berarti gerakan rakyat yang berjuang menggalang persatuan kuat diantara semua
kelompok penduduk Hindia-Belanda untuk mencapai tingkat “Kebangsaan”.
Ditegaskannya perjuangan itu dilakukan secara lambat laun menurut hukum, untuk
memperoleh status pemerintahan sendiri, atau setidaknya mempunyai hak bersuara
dalam urusan kenegaraan, semboyan yang diajukannya “bersama dengan dan membantu
pemerintah”. Ia juga menegaskan, Dewan kolonial yang masih dibicarakan di
Parlemen Nederland harus disambut sebagai langkah pertama menuju pemerintahan
sendiri, betapa terlambatpun pembentukannya.[56]
Dalam kongres
yang diadakan pada 25 maret 1913 ini Soewardi Soeryaningrat menuntut agar
syarat “Muslim” dihilangkan bagi anggota SI. Ia mengatakan, yang diperlukan
pada saat itu bukan hanya solidaritas Muslim, tetapi solidaritas semua penduduk
Hindia. Sebagaimana tersirat dalam nama surat kabar SI Bandung, Hindia Sarekat, seyogyanya SI menjadi
organisasi Sarekat (H)India.[57] Peran
tjokroaminoto juga sangat besar. Malam menjelang kongres, dipilih pengurus
besar yang selanjutnya bernama Central
Comite. H. Samanhudi terpilih sebagai ketua dan Tjokroaminoto sebagai wakil
ketua. Seperti juga di Surabaya, rapat di Surakarta sipimpin oleh
Tjokroaminoto.[58]
Tuntutan
Soewardi Soerjaningrat tempaknya masih radikal bagi SI, secara seutuhnya,
tujuan SI tercantum dalam anggaran dasar SI tahun 1912, ayat 2, yakni berisi: perama, meningkatkan semangat dagang dan
kewirausahaan dikalangan rakyat pribumi,
kedua,membantu anggota yang kesulitan dalam memperoleh hajat hidup yang
layak, ketiga,meningkatkan
pengembangan spiritual dan kebutuhan materiel orang Indonesia sehingga dapat
membantu menaikkan standar hidup mereka,
keempat, membasmi kesalahfahaman terhadap Islam, dan menganjurkan kehidupan
agama di kalangan rakyat Indonesia yang sesuai dengan ketentuan dan ajaran
Islam.[59]
Sesudah kongres
SI Surabaya dan di Surakarta, SI berkembang pesat. Propaganda secara masal
dilakukan oleh perkumpulan baru ini. Teman-teman sezaman membandingkan
tumbuhnya gerakan ini dengan kebakaran padang rumput yang dengan cepat
menyambar padang ilalang sekitarnya.[60]
Gubernur Jendral
Idenburg secara hati-hati mendukung SI. Pada tahun 1913, dia memberi pengakuan
resmi kepada SI. Meskipun demikian, dia tidak mengakuinya sebagai suatu
organisasi nasional yang dikendalikan oleh markas besarnya (Central Sarekat
Islam, CSI), melainkan hanya sebagai kumpulan cabang-cabang yang otonom.[61] Pada
10 Juli 1913, keputusan pemerintah 30 Juni itu disampaikan baik kepada para
residen maupun kepada pengurus pusat SI, apa boleh buat, pengurus SI menerima
keputusan itu dan segera merencanakan pengalihan setiap “cabang” SI menjadi SI
lokal. Untuk memelihara kerjasama di antara SI lokal ini dibentuklah kemudian
semacam pengurus pusat baru, yang terkenal dengan nama Centrale Sarekat Islam (CSI).[62]
Bagi Idenburg,
melarang begitu saja tidak ada gunanya, apalagi dengan tekanan dan penindasan.
Jalan yang terbaik baginya adalah membuat kanalisasi, artinya mengurangi
desakan kuat sehingga tidak timbul satu kekuatan besar yang dapat menghancurkan
eksistensi pemerintah. Hal ini dihabarkan dalam pemberian badan hukum (rechtspersoon) kepada SI, sehingga
organisasi ini leluasa menjalankan kegiatan tanpa ada hambatan dari pihak
manapun. Idenburg hanya mau memberi badan hukum pada cabang-cabang SI,
sedangkan Central Sarekat Islam (CSI) baru akan diberikan kemudian. Ini berarti
bahwa hanya cabang lokal yang diakui secara resmi dan hubungan antar cabang dan
koordinasi dari CSI diperlemah.[63]
Dalam kongres SI
taun 1914 di Yogyakarta Cokroaminoto terpilih sebagai pimpinan SI. Gejala
konflik internal telah timbul dipermukaan dan kepercayaan teradap CSI mulai
berkurang. Namun Cokroaminoto tetap mempertaankan keutuhan dengan mengatakan
bawa kecenderunganuntuk memisakan diri dari CSI harus dikutuk. Kerenanya
perpecaan harus dihindarkan, persatuan arus dijaga karena islam sebagai unsure
penyatu.[64]
Walaupun
Tjokroaminoto memiliki kekuasaan penuh sebagai ketua SI, tetapi dia sangat
berhati-hati mengambil tindakan. Segala tindakan diperhitungkan secara
diplomatis dan dengan penuh antisipasi jauh ke depan. Tjokroaminoto tidak
pernah menyebutkan secara eksplisit tujuan politik SI sampai tahun 1915 karena
adanya larangan berdirinya organisasi politik dari pemerintah kolonial.
Pada bulan Juni
1916 di Bandung, diadakan kongres yang dihadiri oleh 80 SI lokal yang meliputi
360.000 orang anggota. Kongres itu merupakan “Kongres Nasional” kerena SI
mencita-citakan supaya penduduk Indonesia menjadi satu natie atau suatu bangsa dengan kata lain mempersatukan etnik
Indonesia menjadi bangsa Indonesia.[65]
Dalam pidatonya
pada kongres di Bandung tahun 1916, Tjokroaminoto mengemukakan bahwa “bangsa”
nya memiliki sifat suka menghinakan diri dan secara berlebihan merendahkan
diri. Oleh karena penjajahan yang berabad-abad, tumbullah ini sebagai sifat
dasar bagi rakyat.[66]
Peran pemersatu juga dimainkan oleh Tjokroaminoto terhadap pengurus SI.
“keinginan yang tunggal ialah mempertahankan kesatuan di dalam organisasi dan
untuk menjalankan ini ia dapat dan telah menyetujui pandangan semua orang” kata
Robert van Niel.
Sebelum diadakan
kongres selanjutnya tahun 1917 di Jakarta muncul aliran revolusioner
sosialistis yang diwakili oleh Semaun yang pada waktu itu menjadi ketua SI
lokal Semarang. Namun kongres itu tetap memutuskan bahwa azas perjuangan SI
ialah mendapatkan zelf bestuur atau
oemerintahan sendiri. Selain ditetapkan juga azas ke dua berupa Strijd tegen overheersing ven het zondig
kapitalisme atau perjuangan melawan penjajah dari kapitalisme yang jahat.
Sejak saat itu pula Tjokroaminoto dan Abdul Muis mewakili SI dalam Dewan
Rakyat.[67]
Sikap koperasi
yang mula-mula dijalankan oleh Sarekat Islam ini dengan tujuan yang lebih
penting lagi yaitu:”berangsur-angsur memperbesar kekuasaan Volksraad sampai
menjadi Dewan Rakyat yang sebenar-benarnya, yang anggota-anggotanya terus
dipilih oleh rakyat”. Tjokroaminoto dan Muis bahu-membahu memperjuangkan
keinginan para peserta kongres nasional CSI.[68]
Tjokroaminoto
dan Muis juga membawa suara kongres ke siding kongres Volksraad mengenai tuntutan pemerintahan sendiri untuk rakyat
Indonesia, tuntutan memilih untuk semua penduduk laki-laki yang telah berumur
21 tahun, selain itu juga penghapusan Dewan Daerah, hak melakukan pemeriksaan
dan hak meminta keterangan untuk Volksraad,
susunan anggota Volksraad harus
ada perbandingan.
Merasa
tuntutan-tuntutannya tidak dianggapai secara serius oleh pemerintah,
Tjokroaminoto berusaha menggalang persatuan dengan organisasi-organisasi lain
seperti Boedi Utomo dan Insulinde dengan membentuk Radicale Concentartie. Gerakan ini bertujuan untuk menyusun parlementaire-combinatie, unuk menuntut
terbentuknya parlemen sejati yang disusun oleh rakyat dan dari rakyat dan yang
mempunyai hak penuh untuk menentukan undang-undang.[69]
Dua hari sesudah
pembentukan badan itu, ada kawat dari negeri Belanda yang lebih terkenal dengan
peristiwa “November-belofte”, untuk menanggapi surat kawat ini, maka pada 25
November 1918, di dalam Volksraad lahirlah
mosi Tjokroaminoto yang berbunyi:
Voolksraad
Menimbang telah sampainja masanja
mengadakan perubahan jang besar dalam
suasana pemerintahan jang benar dalam negeri ini;
Berpendapat bahwa
setjepat-tjepatnya harus disusunnja suatu parlement jang dipilih di antara dan
oleh rakjat dengan hak menentukan hukum
sepenuh-penuhnja dan dibangunkan suatu pemerintahan jang menanggung djawab pada
Perlement tersebut.
Mengharapkan kepeda pemerintah
supaja dengan bekerdja bersama-sama dengan perhimpunan-perhimpunan supaja
politik dalam negeri ini (Indonesia), mendjalankan daja-daja jang diperlakukanja,
agar supaja susunan pemerintah baru jang dinjatakan oleh Volksraad, dapatlah
dibangunkan pada waktu sebelum akhirnja mandate daripada volksraad jang
sekarang, jakni sebelum tahun 1921 dan mengharapkan supaja mosi ini dimaklumkan
dengan kawat kepada Opper-bertuur.[70]
Pemerintah kolonial tidak pernah
menanggapi dengan serius mosi Tjokroaminoto dan mosi lain yaitu mosi Achmad
Djajadiningrat. Pemerintah selalu menjawab tunggu dulu. Mosi-mosi tersebut
tidak pernah langsung dibicarakan dalam Volksraad.
Sementara itu pengaruh Semaun makin
menjalar ke tubuh SI. Dikatakannya bahwa pertentangan yang terjadi bukan antara
penjajah dan terjajah tetapi juga anatara kapitalis dengan buruh. Karena itu
perlu memobilisasikan kekuatan buruh dan tani. Di dalam kongres SI tahun 1919,
SI memperhatikan gerakan buruh Sarekat Sekerja (SS), karena SS akan memperkuat
kedudukan partai politik dalam menghadapi pemerintahan kolonial, kemudian
terbentuklah persatuan SS yang beranggotakan SS pegadaian dan SS pegawai Pabrik
Gula. Dan SS Pegawai Kereta Api.[71] Selanjutnya
perubahan-perubahan dalam tubuh SI dapat dilihat dari kongres-kongresnya.
Akhir tahun 1919
diselenggarakan kongres. Suasana kongres lesu namun sementara itu perjuangan SI
tetap ditegakkan dengan landasan perjuangan antar bangsa yang ini berarti
perjuangan melawan pemerintah kolonial harus terus dilakukan. Di dalam tahun
itu pula pengaruh sosialis-komunis telah masuk ke tubuh SI pusat maupun
cabang-cabangnya, setelah aliran itu mempunya wadah dalam organisasi yang
disebut ISDV. Pada 23 Mei 1920 ISDV berganti nama menjadi Partai Komuinis
Indonesia (PKI)[72].
Perubahan nama ini mengindikasikan bahwa ISDV benar-benar telah menjadikan
sosialis-komunis sebagai haluan politiknya. Semaun sendiri terpilih sebagai
ketua umumnya.
Sepak terjang Tjokroaminoto dan
Muis rupanya membuat pemerintah kolonial gerah. Maka ketika terjadi peristiwa
Toli-Toli dan Sarekat Islam Afdeling B, kedua tokoh pergerakan tersebut
ditangkap dengan alasan terlibat. Pemberontakan tersebut dan pemberontakan yang
terjadi di Kalimantan Barat, Jambi, Kudus, Demak dan lain-lain dianggap disulut
oleh SI, padahal karena paceklik. Banyak tokoh-tokoh SI dipenjarakan, bahkan
Tjokro sendiri dipenjarakan selama delapan bulan pada tahun 1920. Tjokroaminoto
selaku pemimpin SI dipersalahkan karena
dengan sengaja telah membiarkan pembuat huru-hara bergejolak. Akibat
peristiwa-peristiwa tersebut banyak anggota SI lari ke organisasi lain. Ketika
inilah kemunduran SI sebagai pergerakan nasional bermula.[73]
Selain SI Afdeling B, CSI juga dituduh terlibat dalam peristiwa ini.
Sosrokardono, sekretaris CSI dituduh terlibat hingga kemudian ditangkap oleh
pemerintah kolonial. Ia kemudian diadili dan dihukum penjara 4 tahun. HOS
Cokroaminoto juga dihukum karena dianggap memberi keterangan palsu.[74]
PKI sendiri
sesungguhnya juga menghendaki perdamaian. Salah satu hal yang dilakukan ialah
mengecam Darsono tentang caranya mengkritik Cokroaminoto.[75]
PKI menganggap bahwa pers Eropa telah membesar-besarkan kritik Darsono tersebut
dengan tujuan melemahkan perjuangan SI maupun PKI.
Guna memulihkan
hubungan itu pimpinan CSI mengadakan rapat di Yogyakarta pada 17 Januari 1921.[76]
Dalam pertemuan tersebut disepakati 4 butir kesepakatan Semaun-Salim[77].
Selain itu disepakati pula CSI akan mengadakan kongres di Yogyakarta pada 2-6
Maret 1921 khusus untuk membahas pertikaian tersebut.
Kongres CSI 2-6 Maret
berlangsung sesuai rencana di Yogyakarta. Darsono meminta maaf atas kritik tajamnya kepada
Cokroaminoto. SI Yogyakarta juga membatalkan niatnya untuk memberlakukan
disiplin partai. Perdamaian antara SI dan PKI bisa terwujud sementara.
Kondisi damai ini
rupanya tidak bertahan lama. Pada Kongres luar biasa SI 6-10 Oktober 1921 di
Surabaya, konflik kembali pecah akibat tidak tercapainya kesepakatan mengenai
federasi buruh.[78]
Hubungan SI dan PKI kembali merenggang. Perpecahan di dalam tubuh SI tidak
dapat dihindari lagi antara sayap komunis dan pengurus pusat SI. Semaoen dan
beberapa tokoh sayap kiri menolak disiplin partai yang akan dilaksanakan oleh
H.A Salin dan Muis. Ini akan merugikan Semaoen yang mencoba mempengaruhi
anggota-anggota SI untuk sekaligus sebagai anggota PKI. Namun SI pun mengalami
banyak kerugian. Dengan dijatuhkannya keputusan bahwa orang-orang PKI tidak
berhak menjadi anggota Sarekat Islam. Mereka mengubah diri mereka menjadi
Sarekat Rakyat. Dibeberapa daerah juga Sarekat Islam Merah sebagai tandingan
tehadap Sarekat Islam yang di pimpin oleh Tjokro-Salim-Muis.[79]
Perpecahan ini memang sudah berakar lama, hanya karena kepiawaian Tjokro waktu
itu, perpecahan di tubuh SI dapat ditunda.
Konflik tersebut
diperparah dengan ketidakhadiran Cokroaminoto yang harus ditahan akibat
peristiwa Afdeling B.[80]
Hal ini membuat SI Yogyakarta pimpinan Agus Salim menguasai kongres sehingga
dengan leluasa menerapkan kebijakan disiplin anggota. Sejak saat itu, anggota
SI dilarang untuk menjadi anggota organisasi lain. Semaun beserta SI Semarang
menolak keras disiplin anggota tersebut. Sejak saat itu, SI resmi pecah menjadi
dua, yaitu SI Putih pimpinan Agus Salim yang berpusat di Yogyakarta, dan SI
Merah pimpinan Semaun yang berpusat di Semarang.
Perpecahan-perpecahan
yang menimpa SI dan serangan-serangan baik dari kaum komunis maupun kaum
nasionalis-sekuler, melecut tokoh-tokoh SIuntuk mengadakan konsolidasi. Untuk
itu dilangsungkan Al-Islam Congres pada tahun 1921 dengan tujuan mengurangi
bahaya perselisihan tentang soal-soal Furu
dan chilafiyah, serta mengusahakan
terciptanya persatuan aliran dan kerjasama diantara kaum muslimin terhadap
soal-soal yang mengenai agama Islam. Pimpinan kongres berada di tangan HOS
Tjokroaminoto dan HA Salim, ketika itu, HOS Tjokroaminoto berpidato antara
lain: “Bukanlah sekali-kali maksud saya dalam kongres ini akan membuat
propaganda yang bersifat politik semata-mata, tetapi dari karena bahagian
terbesar daripada perikemanusiaan yang menanggung sengsara dalam pelbagai
bahagian dunia….”. Al-Islam kongres yang kedua dilangsungkan di Garut pada
tahun 1922, guna mengesahkan peraturan-peraturan Central Comite Al-Islam yang
bertujuan “akan merapatkan persatuan dan persaudaraan di antara pemuka-pemuka
dan perhimpunan Islam di Indonesia.[81]
Hal ini merupakan salah satu usaha untuk menyatukan lagi umat muslim dalam
paying Islam.
Perpecahan ini
benar-benar melemahkan SI secara keseluruhan. SI Merah kemudian bergabung
dengan PKI terutama karena faktor Semaun. Perjuangan mereka terus berkembang
hingga terjadi perlawanan PKI pada tahun 1927. SI Putih sendiri gagal
mempertahankan hegemoni mereka. Pada 1923 di Madiun memutuskan bahwa Central
Sarekat Islam berubah menjadi Partai Sarekat Islam (PSI).[82] Hanya
saja PSI tidak mampu berkembang menjadi sebesar SI dan cenderung mengalami
kegagalan. Azas perjuangan PSI adalan nonkoperasi artinya organisasi ini tidak
mau bekerjasama dengan pemerintah kolonial, tetapi mengizinkan anggotanya duduk
dalam Dewan Rakyat atas nama diri sendiri.
[1] D.A. Winda. 2009. Profil 143 pahlawan Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Timur, hlm 42
[2]
Amelz, H.O.S. Tjokroaminoto, hidup dan perjuangannya, I-II (Jakarta Bulan
Bintang,t.t.), hlm 48-50
[3] D.A. Winda. Op.Cit, hlm 42
[4] Parakitri T. Simbolon. Menjadi
Indonesia. Jakarta: Kompas, hlm 560
[5] Mansyur Amin. 1992. “Visi Tjokroaminoto
Tentang Masa Depan Indonesia Merdeka”. “Al-Jami’ah”.
No 50, hlm 49
[7] Anhar Gonggong, H.O.S. Tjokroaminoto
(Jakart, Depdikbud, 1985), hlm 12
[8] Mansyur Amin. HOS.
Tjokroaminoto Rekonstruksi Pemikiran dan Perjuangannya. Yogyakarta:
Cokroaminoto university Press, hlm 12
[14]
Mansyur
Amin. HOS. Tjokroaminoto Rekonstruksi
Pemikiran dan Perjuangannya. Yogyakarta: Cokroaminoto university Press,
hlm14
[15]
Mansyur Amin. 1992. “Visi Tjokroaminoto
Tentang Masa Depan Indonesia Merdeka”. “Al-Jami’ah”.
No 50, hlm 48-49
[16]
Mansyur
Amin. HOS. Tjokroaminoto Rekonstruksi
Pemikiran dan Perjuangannya. Yogyakarta: Cokroaminoto university Press,
hlm14
[17]
Mansyur Amin. 1992. “Visi Tjokroaminoto
Tentang Masa Depan Indonesia Merdeka”. “Al-Jami’ah”.
No 50, hlm 48-49
[20]
Mansyur Amin. 1992. “Visi Tjokroaminoto
Tentang Masa Depan Indonesia Merdeka”. “Al-Jami’ah”.
No 50, hlm 54
[23]
Mansyur Amin. 1992. “Visi Tjokroaminoto
Tentang Masa Depan Indonesia Merdeka”. “Al-Jami’ah”.
No 50, hlm 51
[24] M.C. Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. 2008. Jakarta: Serambi Ilmu
Semesta, hlm 348
[27]
Mansyur
Amin. HOS. Tjokroaminoto Rekonstruksi
Pemikiran dan Perjuangannya. Yogyakarta: Cokroaminoto university Press, hlm
29
[28]
H.O.S Tjokroaminoto, Islam dan Sosialisme , hlm 7. Dalam Mansyur Amin. HOS. Tjokroaminoto Rekonstruksi Pemikiran dan Perjuangannya. Yogyakarta:
Cokroaminoto university Press, hlm 30
[30]
H.O.S. Tjokroaminoto, Tafsir Program Asas dan
Program Taudhin PSII hlm 63-64 dalam Mansyur Amin. HOS.
Tjokroaminoto Rekonstruksi Pemikiran dan Perjuangannya. Yogyakarta:
Cokroaminoto university Press, hlm 36
[35] Parakitri T. Simbolon. Menjadi
Indonesia. Jakarta: Kompas, hlm 260
[36] M.C. Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta,
hlm 347
[37]Organisasi jaga malam milik pedagang
Bumiputra yang didirikan oleh Haji Samanhudi yang merupakan seorang pedagang
dan pengusaha batik yang terpandang di lawean, Surakarta.
[38] Organisasi tolong menolong untuk penguburan
milik pedagang China
[39] Parakitri T. Simbolon. Menjadi
Indonesia. Jakarta: Kompas, hlm 560. Masuknya H. Samanhoedi ke dalam
organisasi Kong Sing sebetulnya gara-gara BO. Sebagai pedagang dan pengusaha
batik yang terpandang, Haji Samanhoedi diminta menjadi anggota BO cabang
Surakarta, berkat pengaruhnya, BO Surakarta mampu menghimpun anggota sekitar
1.000, khawatir BO akan mendirikan koperasi pedagang batik yang kuat bersaing,
Kong Sing menbujuk Samanhoedi menjadi anggotanya. Samanhoedi menerimanya. Di
Bawah pengaruhnya, hampir seluruh pedagang batik Bumiputa menjadi anggota Kong
Sing sehingga jumlahnya melampaui yang China. Namun demikian, mereka akhitnya
keluar dari Kong Sing, ketika para anggota China mulai tampak bertingkah akibat
revolusi nasional Tiongkok.
[40]SDI atau Sarekat Dagang Islam adalah
Organisasi yang didirikan oleh Tirto Adhi Soerjo yang bertujuan sebagai perkumpulan
para warga merdeka, Kaoem Mardika (Vrije Burgers) di Hindia Belanda
[41] Parakitri T. Simbolon. Menjadi
Indonesia. Jakarta: Kompas, hlm 261
[42] Ibid.,
hlm 261
[43]
Kuntowijoyo. Raja Priyayi dan Kawula. 2006.
Yogyakarta: Ombak. Hlm 110-111
[45] Asvi Warman Adam. 2007. Seabad Kontroversi Sejarah. Yogyakarta. Ombak. Hlm. 25
[46] Sartono Kartodirjo. 1999. Pengantar
Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai
Nasionalisme. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama 107
[47] Lihat A.P.E. Kover, hlm 21 dalam Mansyur
Amin. HOS. Tjokroaminoto Rekonstruksi
Pemikiran dan Perjuangannya. Yogyakarta: Cokroaminoto university Press, hlm
61
[48] Parakitri T. Simbolon. Menjadi
Indonesia. Jakarta: Kompas, hlm 263
[52]
Mansyur
Amin. HOS. Tjokroaminoto Rekonstruksi
Pemikiran dan Perjuangannya. Yogyakarta: Cokroaminoto university Press, hlm
62
[54]
Mansyur
Amin. HOS. Tjokroaminoto Rekonstruksi
Pemikiran dan Perjuangannya. Yogyakarta: Cokroaminoto university Press, hlm
63
[55] Mansur Suryanegara, Ahmad. Api Sejarah. 2009. Bandung: Salamadani.
Hlm 371
[56] Parakitri T. Simbolon.op.cit., hlm 284
[57] Ibid.,
hlm 269
[58] Mansyur Amin. HOS.
Tjokroaminoto Rekonstruksi Pemikiran dan Perjuangannya. Yogyakarta:
Cokroaminoto university Press, hlm 64
[59] Muhammd Hisyam. Indonesia dalam Arus Sejarah 5 Masa Pergerakan Kebangsaan. Jakarta:
PT Ichtiar Baru van Hoeve, hlm 344-345
[60]
Mansyur
Amin. HOS. Tjokroaminoto Rekonstruksi
Pemikiran dan Perjuangannya. Yogyakarta: Cokroaminoto university Press, hlm
64
[61] M.C.
Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern
1200-2004. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, hlm 349
[63]
Suhartono.
Sejarah Pergerakan Nasional dari Budi
Utomo sampai Proklamasi 1908-1945. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, hlm
35
[66]
Mansyur
Amin. HOS. Tjokroaminoto Rekonstruksi
Pemikiran dan Perjuangannya. Yogyakarta: Cokroaminoto university Press, hlm
67
[68]
Mansyur
Amin. HOS. Tjokroaminoto Rekonstruksi
Pemikiran dan Perjuangannya. Yogyakarta: Cokroaminoto university Press, hlm
64
[69]
Mansyur
Amin. HOS. Tjokroaminoto Rekonstruksi
Pemikiran dan Perjuangannya. Yogyakarta: Cokroaminoto university Press, hlm
64
[71]
Suhartono.
Op.cit., hlm 36
[73] Amelz, H.O.S.
Tjokroaminoto, hidup dan perjuangannya, I-II (Jakarta Bulan Bintang,t.t.),
hlm 110
[74] Suhartono. Sejarah
Pergerakan Nasional dari Budi Utomo sampai Proklamasi 1908-1945. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar Offset, hlm. 53
[75] Parakitri, Op Cit., Hlm. 325
[76] Ibid.,
[77] McVey. Op
Cit., Hlm. 161
[78] Parakitri, Op Cit., Hlm. 326
[79] Anhar Gonggong, op.cit., hlm. 48-49
[80] Parakitri, op.cit., hlm 326
[81]Amelz, op.cit,. hlm.
122-123
0 komentar:
Posting Komentar