Buku :Choirotun Chisaan. 2009. ”Kartini Dalam
Himpitan Feoda-Kolonial, Membaca ulang ‘Panggil Aku Kartini Saja’ Karya
Pramoedya Ananta Toer”.Mata Jendela, vol
IV, No 1/2009.
“Membuat
sejarah baru”, hal itulah yang harus dilakukan saat ini, bukan sejarah dalam
arti mengulang peristiwa atau semacamnya, melainkan menulis kembali sejarah
dalam sudut pandang dan fakta-fakta yang ada sesuai dengan apa yang pernah di
rasa dan di cipta oleh bangsa Indonesia. Yang menjadi masalah ialah, sejarah
saat ini merupakan sejarah pesanan kaum colonial dan orang-orang yang
berkepentingan, selain itu sebelum kepergiannya ke Belanda pasca Jepang masuk
ke Indonesia, Belanda membakar arsip-arsip dan dokumen-dkumen penting yang
berkaitan dengan Indonesia pada saat itu.
Sama
halnya dengan sejarah Kartini. Pemerintah colonial berusaha bahwasanya kartini
merupakan salah satu contoh orang Indonesia yang sukses mereka didik dengan
system baratnya, terlepas dari Kartini yang begitu mengagumi kehidupan
orang-orang barat yang lebih memiliki kebebasan dibandingkan kehidupan di Jawa
yang syarat dengan feodalisme dengan aturan-aturan yang harus dilaksanakan.
Dalam
surat-surat yang Kartini tulis, beliau menjelaskan secara rinci mengenai
kehidupannya di Jawa, terutama aturan-aturan yang harus dilakukan antara
seorang kakak dengan adik, orang tua dengan anak dan lain sebagainya. Kartini
memang terlahir dari kalangan aristrokat dan priyayi, dalam darahnya mengalis
darah pesantren, namun tidak banyak yang menduga. Terdapat suatu problem kultural
dimana perempuan pesantren harus memposisikan mereka kepada sosok kartini yang
khas dengan sanggul, kebaya atau kain. Namun ini hanya menjadi polemic cultural
yang unik dank khas.
Kartini
hidup dalam kurun waktu dimana “kaum penjajah dan feodal tidak peduli bagaimana
beras dihasilkan, bagaimana bumi di balik oleh mata bajak dan bagaimana manusia
dan hewan bekerja untuk musuhnya” memang kata feodal tidak terdapat dalam surat
yang dituliskan Kartini namun dalam pemaparannya tampak jelas bahwa tatanan
hidup Feodal yang berlapis-lapis, tidak hanya di alami di kabupaten Jepara
melainkan hampir di seluruh tanah Jawa.
Kartini
mencoba mencari “obat penawar” atas kehidupan feodal yang ia alami ke dunia
barat yang dipandangnya berdadab, demokratis dan egaliter. Dunia barat yang
dimaksudkan oleh Kartini ialah dunia Barat yang sesungguhnya bukan pemerintah
colonial yang ada di Indonesia, ‘kebebasan’ yang kartini coba dapatkan dengan
berpaling ke barat, diyakini akan melepaskan belenggu feodalisme pribumi.
Meski
Kartini mencoba berpaling dan mencari pembebasan ke dunia Barat, kehidupan
orang kulit putih di Indonesia tak urung mendapat kritik dan hujatan dari
Kartini. Kehidupan yang secara tidak langsung membentuk pola “tuan” dan “budak”
yang memiliki karakteristik dengan system feodalisme dapat dilihat dengan jelas
dari surat yang ditujukan Kartini kepada Nyonya Abendanon.
Dijelaskan
dalam artikel ini juga mengenai sosok kartini yang saat ini hanya dijadikan
sebagai objek mitos yang hari kelahiran dan jasanya senantiasa
diagung-agungkan, mereka terkadang lupa bahwasanya kartini itu benar-benar ada.
Belanda sebagai pihak pengkoloni merasa telah berhasil dengan mengirimkan misi
peradaban bagi bangsa jajahannya, meski pada kenyataannya apa yang dirasakan
kartini muncul dari pemikirannya sendiri.
0 komentar:
Posting Komentar