Selasa, 22 April 2014

Kartini

Buku   :Choirotun Chisaan. 2009. ”Kartini Dalam Himpitan Feoda-Kolonial, Membaca ulang ‘Panggil Aku Kartini Saja’ Karya Pramoedya Ananta Toer”.Mata Jendela, vol IV, No 1/2009.

“Membuat sejarah baru”, hal itulah yang harus dilakukan saat ini, bukan sejarah dalam arti mengulang peristiwa atau semacamnya, melainkan menulis kembali sejarah dalam sudut pandang dan fakta-fakta yang ada sesuai dengan apa yang pernah di rasa dan di cipta oleh bangsa Indonesia. Yang menjadi masalah ialah, sejarah saat ini merupakan sejarah pesanan kaum colonial dan orang-orang yang berkepentingan, selain itu sebelum kepergiannya ke Belanda pasca Jepang masuk ke Indonesia, Belanda membakar arsip-arsip dan dokumen-dkumen penting yang berkaitan dengan Indonesia pada saat itu.
Sama halnya dengan sejarah Kartini. Pemerintah colonial berusaha bahwasanya kartini merupakan salah satu contoh orang Indonesia yang sukses mereka didik dengan system baratnya, terlepas dari Kartini yang begitu mengagumi kehidupan orang-orang barat yang lebih memiliki kebebasan dibandingkan kehidupan di Jawa yang syarat dengan feodalisme dengan aturan-aturan yang harus dilaksanakan.
Dalam surat-surat yang Kartini tulis, beliau menjelaskan secara rinci mengenai kehidupannya di Jawa, terutama aturan-aturan yang harus dilakukan antara seorang kakak dengan adik, orang tua dengan anak dan lain sebagainya. Kartini memang terlahir dari kalangan aristrokat dan priyayi, dalam darahnya mengalis darah pesantren, namun tidak banyak yang menduga. Terdapat suatu problem kultural dimana perempuan pesantren harus memposisikan mereka kepada sosok kartini yang khas dengan sanggul, kebaya atau kain. Namun ini hanya menjadi polemic cultural yang unik dank khas.
Kartini hidup dalam kurun waktu dimana “kaum penjajah dan feodal tidak peduli bagaimana beras dihasilkan, bagaimana bumi di balik oleh mata bajak dan bagaimana manusia dan hewan bekerja untuk musuhnya” memang kata feodal tidak terdapat dalam surat yang dituliskan Kartini namun dalam pemaparannya tampak jelas bahwa tatanan hidup Feodal yang berlapis-lapis, tidak hanya di alami di kabupaten Jepara melainkan hampir di seluruh tanah Jawa.
Kartini mencoba mencari “obat penawar” atas kehidupan feodal yang ia alami ke dunia barat yang dipandangnya berdadab, demokratis dan egaliter. Dunia barat yang dimaksudkan oleh Kartini ialah dunia Barat yang sesungguhnya bukan pemerintah colonial yang ada di Indonesia, ‘kebebasan’ yang kartini coba dapatkan dengan berpaling ke barat, diyakini akan melepaskan belenggu feodalisme pribumi.
Meski Kartini mencoba berpaling dan mencari pembebasan ke dunia Barat, kehidupan orang kulit putih di Indonesia tak urung mendapat kritik dan hujatan dari Kartini. Kehidupan yang secara tidak langsung membentuk pola “tuan” dan “budak” yang memiliki karakteristik dengan system feodalisme dapat dilihat dengan jelas dari surat yang ditujukan Kartini kepada Nyonya Abendanon.

Dijelaskan dalam artikel ini juga mengenai sosok kartini yang saat ini hanya dijadikan sebagai objek mitos yang hari kelahiran dan jasanya senantiasa diagung-agungkan, mereka terkadang lupa bahwasanya kartini itu benar-benar ada. Belanda sebagai pihak pengkoloni merasa telah berhasil dengan mengirimkan misi peradaban bagi bangsa jajahannya, meski pada kenyataannya apa yang dirasakan kartini muncul dari pemikirannya sendiri. 
Share:  

0 komentar:

Posting Komentar