Acara penting pada tanggal 30 September 1965 ialah
Musyawarah Nasional Teknik (Munastek) yang diselenggarakan oleh angkatan Darat
dan Perhimpunan Insinyur Indonesia. Presiden yang juga seorang insinyur,
diundang untuk membuka musyawarah ini. Sebagaimana lazimnya bila presiden akan
hadir, para undangan diminta dating satu jam sebelum acara, menurut seorang
peserta, acara mundur hingga berjam-jam.[1]
Acara di Istora Senayan selesai pada pukul 23.00. sesudah itu Bung Karno pergi
ke Istana Negara untuk mengganti pakaian.
Sementara itu di lain tempat pada pukul 20.00
bertempat di kediaman resmi Menteri/Pangau terjadi pertemuan antara Laksamana
Omar Dhani bersama anggota pimpinan Angkatan Udara. Pertemuan tersebut
dialkukan untuk mendengar informasi dari letkol Heru yang diperolehnya dari
Mayor Udara Suyono yang isisnya mengenai “Dewan Jendral” yang hendak mengadakan
kudeta pada Hari Angkatan Bersenjata, tanggal 5 Oktober. [2]
Selain menyebutkan nama-nama jendral yang bersangkutan, dijelaskan pula pasukan
yang disiapkan. Ditambahkan pula bahwa pasukan dibagi dalam 3 satuan tugas yang
terdiri dari Pasopasti yang bertugas menangkap para Jendral, Bimasakti bertugas
untuk penguasaan hedung-gedung RRI dan Telekomunikasi, serta Pringgodani
sebagai satgas cadangan.
Pada pukul 04.00 menjelang fajar. Semua pasukan yang
ditugaskan untuk menculik para perwira tinggi telah berada di tempat
sasarannya. Ada tujuh pasukan, masing-masing untuk menangkap/menculik Jendral
A.H Nasution, Letjen A. Yani, Meyjen TNI Suprapto, Meyjen TNI S. Parman, Mayor
Jendral TNI Harjono MT, Brigjen TNI Sutoyo Siswomihardjo dan Brigjen TNI D.I
Panjaitan.
Dalam penyergapan tersebut Jendral AH Nasution yang
lolos dari sergapan operasi Paopati. Sedangkan tiga jendral lainnya (Yani,
Haryono dan Pandjaitan) mati tertembak sewaktu penyergapan sedangkan yang lain
bersama letnan Tendean di bunuh di tempat penehanan di Lubang Buaya.
Sementara itu presiden Soekarno, setelah acara
Munastek dan kembali ke Istana untuk mengganti pakaian, langsung pergi untuk
menjemput istrinya Dewi Soekarno dan menginap di kediaman Dewi di wisma Yaso jalan
Brantas Jakarta Pusat. Pukul 05.45 Mangil selaku Pengawal DKP menyarankan agar
Soekarno untuk sementara tinggal di Wisma Yaso, namun hal ini di tentang oleh
Soekarno yang bersikeras ingin ke Istana.
Dalam perjalanan Mangil mendapat laporan dari
Jatiman bahwa pasukan Angkatan Darat yang berada di sekitar Istana “Tampak
Mencurigakan”. Sebab itu segera diperintahkan supaya rombongan membalik arah.
Sementara itu AKBP Mangil memutuskan untuk membwa Presiden ke Kebayoran Baru,
namun tidak jadi dan akhirnya presiden di bawa ke rumah kediaman Ny. Hariyati
di Grogol dan tiba di sana pada pukul 07.00.
Pukul 08.30 letkol Suparto melaporkan bahwa dia
telah berhasil menghubungi Panglima Angkatan Udara Omar Dhaniyang berada di PAU
Halim. Dengan kehendaknya sendiri Presiden Soekarno memutuskan untuk pergi ke
PAU Halim.
Sekitar pukul 07.20 pagi Masyarakat Indonesia
diberitahu melalui siaran RRI bahwa G30 S yang dipimpin oleh Letnan Kolonel
Untung telah mengambil alih kekuasaan; beberapa jendral telah ditangkap karena
merencanakan penggulingan pemerintahan; presiden berada di bawah perlindungan
gerakan tersebut.
Sementara itu Mayor jendral Soeharto di Markas
Kostrad, menurut Kolonel A, Latief, tiga kali ia berusaha melaporkan pada
Soeharto tentang rencana G30S, akan tetapi baru pada kesempatan ke tiga ia
bertemu dengan Soeharto di RSPAD Gatot Subroto.
Soeharto adalah sosok yang banyak menampung
informasi serta petunjuk tentang akan terjadinya suatu gerakan terhadap
jendral-jendral koleganya. Dan Soeharto hanya menyimpan informasi tersebut
hanya untuk dirinya sendiri. Tidak melanjutkannya kepada pemimpin Angkatan
Darat, dengan informasi yang cukup detail, Soeharto dengan mudah bisa membaca
situasi dan segera tampil dengan gerakan pembersihan. Keberhasilan dari gerakan
pembersihan yang dilakukannya kelak membawa dirinya masuk ke dalam jenjang
kekuasaan luar biasa.[3]
Dalam penumpasan G30 S tersebut tidak banyak memakan
waktu, hanya membutuhkan waktu relative singkat, yakni hanya sehari. Para pelaku G30 S berhasil ditangkap, termasuk
ketua umum PKI Indonesia DN Aidit yang akhirnya di bunuh di daerah Boyolali
setelah sebelumnya dipaksa membuat pengakuan.
Pada tanggal 4 Oktober demonstrasi mahasiswa yang
pertama dilancarkan. Salah seorang perwira staf Suharto, Brigadir Jenderal
Sucipto pada tanggal 2 Oktober bahkan sudah mulai menjalin hubungan dengan
pemimpin mahasiswa anti-komunis diantaranya Subchan Z.E dari NU dan Harry Tjan
dari Partai Katolik. Mereka langsung memutuskan untuk membentuk suatu orgaisasi
dengan nama Kesatuan Aksi Penggayangan Gestapu atau KAP-Gestapu.
Tanggal 6 Oktober sukarno mengadakan sidang kabinet
paripurna di Istana Bogor, mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang
setengah-setengah dan tidak tegas, seperti Pimpinan AD yang menjadi korban dari
Gerakan 30 September oleh Presiden dinyatakan sebagai pahlawan –pahlawan
revolusi.
Pembunuhan
atas mereka itu olehnya dinyatakan sebagai pembunuhan biadab, tetapi pernyataan
itu dibatasi sampai pintu ruang sidang karena saat itu ia tidak mau dunia luar
mendengar banyak tentang aksi keji itu, Soekarno mengutuk pembentukan apa yang
dinamakan Dewan Revolusi Akhirnya sepanjang tersangkut gerakan 30 september
pada umumnya ia menghendaki, seperti telah dinyatakan terlebih dahulu agar
penyelesaian politik diserahkan padanya.