Rabu, 28 Mei 2014

Latar Belakang G 30S

Pada masa pergerakan nasional  semua organisasi atau partai-partai politik dapat bekerja sama  dengan partai atau organisasi politik  lainnya meskipun asas mereka  tidak sama.[1] Yang membedakan hanyalah taktik dan strategi untuk mengusir kolonialisme Belanda.[2]
Perjuangan gigih rakyat Indonesia mencapai puncaknya pada proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.  Organisasi massa dan partai politik  yang sempat tumbuh  pada zaman Hindia Belanda, dan dibubarkan pada masa pendudukan Jepang.
Akan tetapi kemerdekaan Indonesia justru mendorong partai politik dan ormas tumbuh serta berkembang sendiri-sendiri dengan mengusung ideology masing-masing. Mereka mengutamakan ideology diatas kepentingan nasional, sehingga menyebabkan perpecahan didalam tubuh masyarakat. BKR,TKR lalu Angkatan Perang Republik Indonesia kemudian Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Tentara nasional yang seharusnya berdiri diatas semua golongan dan mengayomi rakyat, ternyata sebagian anggotanya menjadi pendukung partai politik tertentu, kemudian pertikaian antara elite politik dan elite militer semakin menjadi.[3]
Yang perlu diingat Perpolitikan Indonesia tahun 1950-an ditandai oleh tiga kekuatan besar. Kelompok pertama adalah kaum nasionalis, diwakili oleh Partai Nasional Indonesia (PNI), kelompok kedua yaitu militer atau Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan kelompok yang ketiga adalah Partai Komunis Indonesia (PKI). presiden Soekarno sendiri sejak masa mudanya mempunyai gagasan mempersatukan ketiganya. Dalam usahanya menggalang persatuan Presiden memaklumkan prinsip nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis), pencerminan golongan-golongan dalam masyarakat.[4]
Keberadaan kelompok militer pada mulannya sebagai alat Negara yang memiliki tugas dan tanggung jawab di bidang pertahanan dan keamanan. Tugas utama TNI adalah menjaga kedaulatan Negara dari ancaman luar dan menciptakan stabilitas keamanan. Dengan demikian TNI harus menempatkan diri diatas semua golongan dan seharusnya memberi perlindungan kepada seluruh rakyat. Panglima Besar TNI Soedirman sebelum wafat sempat mengeluarkan pesan dan mengingatkan bahwa peliharalah TNI, peliharalah Angkatan Perang Kita, jangan sampai TNI dikuasai oleh oleh partai politik manapun juga.[5] Akan tetapi pesan tersebut terbukti dilangar pada tahun 150-an ketika TNI mulai tumbuh dan berkembang menjadi sebuah kekuatan politik yang sangat besar.
Kedudukan Angkatan Darat semakin kuat manakala pemerintah memberikan wewenang yang lebih dalam menangani masalah Irian Barat. AD dilibatkan secara aktif dan bahkan menjadi ujung tombak dalam upaya menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda sebagai realisasi program pemerintah dalam memperbaiki masalah keuangan dan ekonomi. Dalam Operasi Jaya Wijaya untuk membenuk Irian Barat.[6]
Pengaruh politik militer juga bertambah ketika pembentukan cabinet pada bulan Juli 1959 dimana hamper sepertiga anggotanya diangkat dari kalangan militer. Militer juga memiliki wakil di DPRGR dan MPRS, Lembaga Legislatif yang baru dibentuk di era Demokrasi Terpimpin. Ini menambah bobot dan legitimasi politik dari golongan militer dan semakin memantapkan mereka untuk terjun sevara penuh dalam arena politik.[7]
Meskipun begitu, AD sama sekali tidak homogen. Tampak dari sikap AD di bawah Nasution yang memiliki loyalitas terbatas kepada Soekarno, namun di bagian lain seperti divisi Diponogoro dan Brawijaya memiliki kecenderungan “Soekarnois”, sedangkan hal tersebut tidak Nampak pada divisi Siliwangi Jawa Barat. Hal tersebut bukannya tidak disadari oleh Soekarno, ia berusaha agar kecenderungan tersebut tidak berlanjut, namun AD di bawah Nasution membuat Soekarno tidak bisa berbuat banyak.
Di lain pihak Angkatan Laut, Angkatan Udara dan Angkatan Kepolisian mempunya sikap yang berkebalikan, terutama untuk AURI di bawah komando Suryadarma dan Omar Dhani, yang mempunya sikap plitik yang lebih bersesuaian dengan golongan kiri. Contohnya ketika AURI, Angkatan Laut, serta kepolisian  secara penuh mendukung kampanye Dwikora, namun berbeda dengan AD yang hanya mendukung secara verbal tanpa adanya aksi nyata.
Sementara itu di pihak Partai Komunis Indonesia Semenjak kegagalan pemberontakan Madiun September 1948 berdampak buruk bagi citra Partai Komunis Indonesia untuk tumbuh di masyarakat. Citra buruk pasca Tragedi Madiun 1948 itu berkenanan dengan keberhasilan pihak-pihak provokator yang anti terhadap PKI serta menabur kebencian di kalangan masyarakat terhadap Front Demokrasi Rakyat (FDR), khususnya PKI sebagai kelompok mayoritas dalam FDR, sehingga pihak-pihak yang telah terprovokasi melakukan penangkapan dan pembunuhan masal terhadap tokoh dan kader-kader PKI. Peristiwa Madiun 1948 menyebabkan PKI tercerai berai, namun PKI mampu mengatasinya dan membangun kembali kader-kader yang selamat.
Partai Komunis Indonesia memasuki tahun 1950-an dengan memilih strategi kooperatif dengan soekarno.[8] Tokoh-tokoh PKI mencoba menghilangkan kesan buruk dengan memanfaatkan hak yang ada untuk tampil legal dalam konstelasi politik Indonesia. Setiap gagasan, tindakan dan kebijakan politik Soekarno, termasuk konsepsi presiden didukung sepenuhnya.[9] Dengan begitu partai PKI dapat tumbuh dan berkembang menjadi partai yang besar dan mempunyai basis masa, terutama di daerah pedesaan.
Dibawah kepemimpinan D.N. Aidit, PKI berhasil membangun kembali kembali organisasi secara rapi serta menjalin kerjasama dengan partai-partai Komunis Cina, Korea Utara. Ajakan Soekarno[10] untuk bersatu menghadapi Nekolim segera di sambut baik oleh PKI. Sikap akomodatif terhadap pemerintahan Soekarno  menjadikan kedudukan PKI semakin kuat, dilain pihak soekarno mengangap dengan mengadakan konsolidasi politik dengan PKI akan menguntungkan dan dapat mengimbangi kekuatan milter, khususnya angkatan darat, yang pro Barat dan sewaktu-waktu bisa mengancam posisinya. Pembentukan poros Jakarta-Pyongyang-Peking semakin menegaskan tuduhan mereka bahwa Soekarno tengah membawa Indonesia bergerak kearah Komunis.[11]
Tahun 1964, PKI semakin intensif dalam melakukan propaganda Komunis. PKI menyerang kelompok-kelompok yang bersebrangan dengan komunis termasuk Angkatan Darat. Persaingan semakin nyata ketika AD menolak pembentukan Kabinet Gotong Royong yang memasukkan unsur-unsur PKI di dalamnya. Sementara PKI semakin kuat posisinya dalam pemerintahan.
Selain PKI dan AD yang menjadi salah salah satu pemeran dalam peristiwa ini terlepas dari benar atau tidaknya keikutsertaannya. Kita juga harus melihat posisi Indonesia saat itu, dimana kecondongan presiden Soekarno terhadap komunis membuat Amerika merasa terancam sehingga menimbulkan opini lain yakni adanya campur tangan CIA dalam peristiwa G30 S ini. Terlebih saat itu perang dingin antara Uni Soviet dengan Amerika masih berlangsung.



[1] James Luhilima. 2007. Menyingkap Dua Hari Tergelap di Tahun 1965 Melihat Peristiwa G30S dari Perspektif Lain. Jakarta:Kompas
[2] Beberapa strategi yang mereka usung adalah semangat Non-kooperasi, dan taktik Kooperasi. Perbedaan kedua kelompok tersebut terletak hanya pada cara-cara mewujudkan bangsa dan kemerdekaan. Sekarang, setelah para pemimpin non-kooperasi tersingkir, perbedaan itu pun cuma tinggal istilah, karena penjajah tidak menghendaki kooperasi menjadi kenyataan. Kooperasi, kerjasama, samenwerking, hanya mungkin jika ada dua pihak yang sepakat melakukannya. Karena pemerintah jajahan tidak juga rela memberi jalan kerjasama, asa kooperasi ibarat bertepuk sebelah tanggan. Selengkapnya lihat tulisan Prakitri T. Simbolon. Menjadi Indonesia. Jakarta: Kompas, 2007,  hlm. 385-386.
[3] I.G. Krisnadi. Tahanan Politik Pulau Buru (1969-1979).Jakarta:LP3ES, 2001 hlm. 2
[4] G. Moedjanto. Indonesia Abad ke 20: Dari Perang Kemerdekaan Pertama Sampai PELITA III. Yogyakarta: Kanisius, 1988, hlm. 117
   [5] I.G. krisnadi, op.cit., hlm. 3
[6] Aman. 2013. Sejarah Indonesia Masa Kemerdekaan . Yogyakarta, Pujangga Press. Hlm      120
[7] Inggih Tri Sulistiyono. 2012. Malam Bencana 1965 Dalam Belitan Krisis Nasional. Jakarta, Pustaka obor Indonesia, hlm 259.
[8] Krisnandi, op.cit., hlm. 4
[9] Krisnandi, loc cit.
[10] Soekarno dikenal sebagai seseorang yang gandrung dengan persatuan semua kekuatan revolusioner, dia berusaha keras mewujudkan samenbundeling van alle revolutionaire krachten di Indonesia dengan menjalankan politik anti-Neokolim. Selengkapnya lihat tulisan I.G. Krisnadi. Tahanan Politik Pulau Buru (1969-1979).Jakarta:LP3ES, 2001, hlm. 4
[11] Ibid. hlm. 5
Share:  

0 komentar:

Posting Komentar