Pada masa
pergerakan nasional semua organisasi atau
partai-partai politik dapat bekerja sama
dengan partai atau organisasi politik
lainnya meskipun asas mereka
tidak sama.[1]
Yang membedakan hanyalah taktik dan strategi untuk mengusir kolonialisme
Belanda.[2]
Perjuangan gigih
rakyat Indonesia mencapai puncaknya pada proklamasi kemerdekaan 17 Agustus
1945. Organisasi massa dan partai
politik yang sempat tumbuh pada zaman Hindia Belanda, dan dibubarkan
pada masa pendudukan Jepang.
Akan tetapi
kemerdekaan Indonesia justru mendorong partai politik dan ormas tumbuh serta
berkembang sendiri-sendiri dengan mengusung ideology masing-masing. Mereka
mengutamakan ideology diatas kepentingan nasional, sehingga menyebabkan
perpecahan didalam tubuh masyarakat. BKR,TKR lalu Angkatan Perang Republik
Indonesia kemudian Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Tentara
nasional yang seharusnya berdiri diatas semua golongan dan mengayomi rakyat,
ternyata sebagian anggotanya menjadi pendukung partai politik tertentu,
kemudian pertikaian antara elite politik dan elite militer semakin menjadi.[3]
Yang perlu
diingat Perpolitikan Indonesia tahun 1950-an ditandai oleh tiga kekuatan besar.
Kelompok pertama adalah kaum nasionalis, diwakili oleh Partai Nasional
Indonesia (PNI), kelompok kedua yaitu militer atau Tentara Nasional Indonesia
(TNI), dan kelompok yang ketiga adalah Partai Komunis Indonesia (PKI). presiden
Soekarno sendiri sejak masa mudanya mempunyai gagasan mempersatukan ketiganya.
Dalam usahanya menggalang persatuan Presiden memaklumkan prinsip nasakom
(Nasionalis, Agama, Komunis), pencerminan golongan-golongan dalam masyarakat.[4]
Keberadaan
kelompok militer pada mulannya sebagai alat Negara yang memiliki tugas dan
tanggung jawab di bidang pertahanan dan keamanan. Tugas utama TNI adalah
menjaga kedaulatan Negara dari ancaman luar dan menciptakan stabilitas
keamanan. Dengan demikian TNI harus menempatkan diri diatas semua golongan dan
seharusnya memberi perlindungan kepada seluruh rakyat. Panglima Besar TNI
Soedirman sebelum wafat sempat mengeluarkan pesan dan mengingatkan bahwa
peliharalah TNI, peliharalah Angkatan Perang Kita, jangan sampai TNI dikuasai
oleh oleh partai politik manapun juga.[5]
Akan tetapi pesan tersebut terbukti dilangar pada tahun 150-an ketika TNI mulai
tumbuh dan berkembang menjadi sebuah kekuatan politik yang sangat besar.
Kedudukan
Angkatan Darat semakin kuat manakala pemerintah memberikan wewenang yang lebih
dalam menangani masalah Irian Barat. AD dilibatkan secara aktif dan bahkan
menjadi ujung tombak dalam upaya menasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda
sebagai realisasi program pemerintah dalam memperbaiki masalah keuangan dan
ekonomi. Dalam Operasi Jaya Wijaya untuk membenuk Irian Barat.[6]
Pengaruh politik
militer juga bertambah ketika pembentukan cabinet pada bulan Juli 1959 dimana
hamper sepertiga anggotanya diangkat dari kalangan militer. Militer juga
memiliki wakil di DPRGR dan MPRS, Lembaga Legislatif yang baru dibentuk di era
Demokrasi Terpimpin. Ini menambah bobot dan legitimasi politik dari golongan
militer dan semakin memantapkan mereka untuk terjun sevara penuh dalam arena
politik.[7]
Meskipun begitu,
AD sama sekali tidak homogen. Tampak dari sikap AD di bawah Nasution yang
memiliki loyalitas terbatas kepada Soekarno, namun di bagian lain seperti
divisi Diponogoro dan Brawijaya memiliki kecenderungan “Soekarnois”, sedangkan
hal tersebut tidak Nampak pada divisi Siliwangi Jawa Barat. Hal tersebut
bukannya tidak disadari oleh Soekarno, ia berusaha agar kecenderungan tersebut
tidak berlanjut, namun AD di bawah Nasution membuat Soekarno tidak bisa berbuat
banyak.
Di lain pihak
Angkatan Laut, Angkatan Udara dan Angkatan Kepolisian mempunya sikap yang
berkebalikan, terutama untuk AURI di bawah komando Suryadarma dan Omar Dhani,
yang mempunya sikap plitik yang lebih bersesuaian dengan golongan kiri.
Contohnya ketika AURI, Angkatan Laut, serta kepolisian secara penuh mendukung kampanye Dwikora,
namun berbeda dengan AD yang hanya mendukung secara verbal tanpa adanya aksi
nyata.
Sementara itu di pihak Partai Komunis Indonesia Semenjak
kegagalan pemberontakan Madiun September 1948 berdampak buruk bagi citra Partai
Komunis Indonesia untuk tumbuh di masyarakat. Citra buruk pasca Tragedi Madiun
1948 itu berkenanan dengan keberhasilan pihak-pihak provokator yang anti
terhadap PKI serta menabur kebencian di kalangan masyarakat terhadap Front
Demokrasi Rakyat (FDR), khususnya PKI sebagai kelompok mayoritas dalam FDR,
sehingga pihak-pihak yang telah terprovokasi melakukan penangkapan dan
pembunuhan masal terhadap tokoh dan kader-kader PKI. Peristiwa Madiun 1948
menyebabkan PKI tercerai berai, namun PKI mampu mengatasinya dan membangun kembali
kader-kader yang selamat.
Partai Komunis Indonesia memasuki tahun 1950-an
dengan memilih strategi kooperatif dengan soekarno.[8] Tokoh-tokoh
PKI mencoba menghilangkan kesan buruk dengan memanfaatkan hak yang ada untuk
tampil legal dalam konstelasi politik Indonesia. Setiap gagasan, tindakan dan
kebijakan politik Soekarno, termasuk konsepsi presiden didukung sepenuhnya.[9]
Dengan begitu partai PKI dapat tumbuh dan berkembang menjadi partai yang besar
dan mempunyai basis masa, terutama di daerah pedesaan.
Dibawah kepemimpinan D.N. Aidit, PKI berhasil
membangun kembali kembali organisasi secara rapi serta menjalin kerjasama
dengan partai-partai Komunis Cina, Korea Utara. Ajakan Soekarno[10]
untuk bersatu menghadapi Nekolim segera di sambut baik oleh PKI. Sikap
akomodatif terhadap pemerintahan Soekarno
menjadikan kedudukan PKI semakin kuat, dilain pihak soekarno mengangap
dengan mengadakan konsolidasi politik dengan PKI akan menguntungkan dan dapat
mengimbangi kekuatan milter, khususnya angkatan darat, yang pro Barat dan
sewaktu-waktu bisa mengancam posisinya. Pembentukan poros
Jakarta-Pyongyang-Peking semakin menegaskan tuduhan mereka bahwa Soekarno
tengah membawa Indonesia bergerak kearah Komunis.[11]
Tahun 1964, PKI semakin intensif dalam melakukan
propaganda Komunis. PKI menyerang kelompok-kelompok yang bersebrangan dengan
komunis termasuk Angkatan Darat. Persaingan semakin nyata ketika AD menolak
pembentukan Kabinet Gotong Royong yang
memasukkan unsur-unsur PKI di dalamnya. Sementara PKI semakin kuat posisinya
dalam pemerintahan.
Selain
PKI dan AD yang menjadi salah salah satu pemeran dalam peristiwa ini terlepas
dari benar atau tidaknya keikutsertaannya. Kita juga harus melihat posisi
Indonesia saat itu, dimana kecondongan presiden Soekarno terhadap komunis
membuat Amerika merasa terancam sehingga menimbulkan opini lain yakni adanya
campur tangan CIA dalam peristiwa G30 S ini. Terlebih saat itu perang dingin
antara Uni Soviet dengan Amerika masih berlangsung.
[1] James Luhilima. 2007. Menyingkap Dua Hari Tergelap di Tahun 1965 Melihat Peristiwa G30S dari
Perspektif Lain. Jakarta:Kompas
[2]
Beberapa strategi yang mereka usung adalah semangat Non-kooperasi, dan taktik
Kooperasi. Perbedaan kedua kelompok tersebut terletak hanya pada cara-cara
mewujudkan bangsa dan kemerdekaan. Sekarang, setelah para pemimpin
non-kooperasi tersingkir, perbedaan itu pun cuma tinggal istilah, karena
penjajah tidak menghendaki kooperasi menjadi kenyataan. Kooperasi, kerjasama,
samenwerking, hanya mungkin jika ada dua pihak yang sepakat melakukannya.
Karena pemerintah jajahan tidak juga rela memberi jalan kerjasama, asa
kooperasi ibarat bertepuk sebelah tanggan. Selengkapnya lihat tulisan Prakitri
T. Simbolon. Menjadi Indonesia. Jakarta: Kompas, 2007, hlm. 385-386.
[3]
I.G. Krisnadi. Tahanan Politik Pulau Buru
(1969-1979).Jakarta:LP3ES, 2001 hlm. 2
[4]
G. Moedjanto. Indonesia Abad ke 20: Dari
Perang Kemerdekaan Pertama Sampai PELITA III. Yogyakarta: Kanisius, 1988,
hlm. 117
[5]
I.G. krisnadi, op.cit., hlm. 3
[6] Aman. 2013. Sejarah Indonesia Masa Kemerdekaan .
Yogyakarta, Pujangga Press. Hlm 120
[7] Inggih Tri
Sulistiyono. 2012. Malam Bencana 1965
Dalam Belitan Krisis Nasional. Jakarta, Pustaka obor Indonesia, hlm 259.
[8]
Krisnandi, op.cit., hlm. 4
[9]
Krisnandi, loc cit.
[10]
Soekarno dikenal sebagai seseorang yang gandrung dengan persatuan semua
kekuatan revolusioner, dia berusaha keras mewujudkan samenbundeling van alle revolutionaire krachten di Indonesia dengan
menjalankan politik anti-Neokolim. Selengkapnya lihat tulisan I.G. Krisnadi. Tahanan Politik Pulau Buru (1969-1979).Jakarta:LP3ES,
2001, hlm. 4
[11]
Ibid. hlm. 5
0 komentar:
Posting Komentar