PPL hari ketiga, aku masih membantu sekolah untuk
PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru). Masih sama seperti hari pertama dan
kedua, kita menunggu calon peserta didik baru yang mendaftar. Tapi ada yang
berbeda, jika hari pertama dan kedua aku menghabiskan waktu untuk menunggu
adek-adek yang mengisi form pendaftaran, hari itu aku diam di meja informasi
dan pemberian nomer untuk adek-adeknya nanti daftar ulang.
Agak canggung sih, tapi yaaa setelah 30 menit berlalu
Alhamdulillah lancar. Satu hal yang unik, system penerimaannya itu dengan
online dan sebagai petokannya ialah nem peserta didik, kuota tempat PPL ku 179
Peserta didik baru (kalau tidak salah), ketika ada pendaftar baru dengan nem
lebih tinggi maka nem terendah akan tercoret dan diterima di sekolah pilihan
keduanya (itupun jika nem di pilihan kedua memungkinnya masuk), nilai nem
terendah setiap waktunya bisa naik, dan terakhir nem terendahnya 26,00.
Aku dapat melihat anak-anak dengan nem di atas 26,00
tampak wajah sumbringah dan senang karena harapannya bersekolah di SMA N 1
Imogiri bisa terwujud, namun yang lainnya, anak-anak dengan nem di bawah itu
langsung mencabut pendaftarannya dan mendaftarkan diri di sekolah lain.
Menurutku cukup memusingkan system seperti ini,
apalagi kalau mereka salah mengurutkan sekolah pilihan mereka, bisa-bisa mereka
tidak diterima di semua sekolah yang mereka pilih. Dan hal itu terjadi, apa mau
dikata, mau tidak mau mereka harus mendaftar di sekolah swasta atau di sekolah
yang berbeda rayon.
Hari itu juga aku melihat kecemasan orang tua yang
nem anaknya hampir jatuh ke jurang (paling bawah), mereka berharap tidak ada
lagi yang daftar, namun ketika ada yang mendaftar dan nemnya lebih tinggi maka
dengan sangat menyesal anak dengan nem terendah pun dapat tersingkir.
Yogyakarta yang dikenal dengan system pendidikan yang
jujur menjadi alasan mengapa system penerimaan peserta didik baru hanya
mengandalkan nilai nem siswa untuk masuk sekolah menengah atas, namun pendapat
saya kok mengatakan yang berlainan??
Nem bukanlah patokan seorang siswa cerdas atau tidak,
buktinya kemarin ketika menemani seorang adik mengisi form pendaftaran, saya
melihat nilai matematikanya 9,75 hampir sempurna. Namun apa yang adik itu
katakana “aku juga ga nyangka mba dapat nilai segitu, wong aku aja mumet dan
ngasal ngisinya”. Itu artinya nilai yang dia peroleh bukanlah hasilnya sendiri,
melainkan ada factor keberuntungan di dalamnya. Saya khawatir, ini pun terjadi
kepada anak-anak lain, selain factor menyontek dan lain sebagainya.
Usulnya sih mending diadakan seperti tes wawancara
atau ada semacam ujian tulis, sehingga kualitas dari siswa tersebut benar-benar
bisa dipertanggung jawabkan oleh guru dan jauh lebih terukur. Memang ada
kekurangannya juga, kalau teman saya bilang, dengan cara konvensional tersebut
setidaknya peluang nepotisme akan ada dan tidak praktis serta membutuhkan
banyak waktu, sedangkan dengan system online seperti ini, lebih transparan dan
praktis.
Entahlan mana yang terbaik, itu tadi hanya pendapatku
saja. Yaa semoga dengan cara apapun penerimaan siswa barunya, saya berharap
semua anak Indonesia dapat menikmati bangku sekolah dengan merata, adil dan
layak tentunya.
0 komentar:
Posting Komentar