Senin, 21 Desember 2015

Stamford Raffles dan Kebijakannya


Kemenangan Inggris dalam perang melawan Belanda-Prancis, menandai berakhirnya kekuasaan Belanda di Nusantara. Kekuasaan Inggris di Indonesia mencakup Jawa, Palembang, Banjarmasin, Makassar, Madura, dan Sunda Kecil. Pusat pemerintahan Inggris atas Indonesia berkedudukan di Madras, India dengan Lord Minto sebagai gubernur jenderal. Daerah bekas jajahan Belanda dipimpin oleh seorang letnan gubernur yang bernama Stamford Raffles (1811-1816).[1]
Periode interegum Inggris (1811-1836) memiliki peranan penting dalam administrasi system colonial. Periode ini ditandaidengan dimulainya system administasi pemerintahan colonial yang bukan saja tentang jawa, namun tentang orang-orang Jawa sendiri. Periode yang hanya lima tahun ini merupakan tahun-tahun eksperimentasi dan  idealism. selama lima tahun (1811-1816) ini diletakkan dasar-dasar kebijaksanaan pemerintahan colonial Belanda yang kemudian mengambil alih kembali kekuasaan inggris sejak 1816 dan berlangsung hingga 1830.[2]

A.      Thomas Stamford Raffles
Raflles adalah Gubernur Jenderal Hindia Belanda terbesar. Ia adalah seorang warganegara Inggris. Ia juga dikenal sebagai pendiri Kota dan Negara Singapura. Ia paling dikenal sebagai pencipta kerajaan terbesar di dunia.[3]
Ia lahir di Port morant, Jamaika pada Juli 1781. Ayahnya, Benjamin Raffles telah terlibat dalam perbudakan di Kep. Karibia dan meninggal mendadak pada saat Raffles berusia 15 tahun. Sejak saat itulah Raffles langsung bekerja di sebuah perusahaan dagang di London yang berperan banyak dalam penaklukan negara-neagara lain. Termasuk pada 1805, ia dikirim ke Pulau Penang, Malaysia. Sejak saat itulah hubungannya dengan Asia Tenggara dimulai.[4]
Pada 1811, Raffles dipromosikan untuk menjadi Gubernur Jenderal di daerah jajahan Belanda yaitu Hindia-Belanda atau yang kini disebut Jawa. Sejak ia memerintah, ia merumuskan beberapa kebijakan-kebijakan yang sangat baik untuk perkembangan Indonesia, diantaranya ; ia menghapuskan beberapa sistem perbudakan, mereformasi sistem pemerintahan korup Belanda, mengadakan penelitian-penelitian flora, fauna, artefak candi-candi prasejarah dan lain sebagainya.[5]
Ia menikah dengan Olivia Mariannr yang wafat pada 26 November 1814 di Buitenzorg, Bandung dan dimakamkan di Batavia. Raffles sendiri meninggal sehari sebelum ulang tahunnya, pada 5 Juli 1826 karena penyakit stroke. Namanya diabadikan dimana-mana. Di Singapura, banyak tempta-tempat, institusi dan lain-lain menggunakan nama Raffles. Termasuk di Indonesia, Bunga Bangkai atau yang disebut padma raksasa, diabadikan menggunakan nama Rafflesia Arnoldi sebagai penghormatan atas penemu pertama Bunga langka dan terbesar ini.[6]
B.      Awal mula pendirian system sewa tanah
Gagasan Raffles mengenai sewa tanah ini dilatar belakangi oleh keadaan Jawa yang tidak memuaskan dan tidak adanya kebebasan berusaha. Gagasan dan cita-cita Raffles merupakan pengaruh dari Revolusi Perancis yaitu prinsip kebebasan, persamaan, dan persaudaraan yang semula tidak ada pada masa Belanda. Pada masa pemerintahan Belanda, para pedagang pribumi dan Eropa mengalami kesulitan dalam hal berdagang. Hal ini disebabkan oleh adanya sistem monopoli yang diterapkan pemerintah Belanda. Sistem monopoli yang diterapkan oleh pemerintahan Belanda ini pada masa Raffles diganti dengan perdagangan bebas.[7]
Selain itu adanya paksaan dari pemerintah Belanda kepada para petani untuk menyediakan barang dan jasa sesuai kebutuhan Belanda, mengakibatkan matinya daya usaha rakyat. Oleh karena itu, pada masa Raffles inilah masyarakat diberi kebebasan bekerja, bertanam, dan penggunaan hasil usahanya sendiri. Pada masa Raffles para petani diberi kebebasan untuk menentukan jenis tanaman apa yang akan ditanam.
Tidak adanya kepastian hukum pada masa pemerintahan Belanda, telah mengakibatkan terjadinya kekacauan di berbagai daerah. Tidak adanya perlindungan hukum untuk para para penduduk mengakibatkan adanya sikap sewenang-wenang para penguasa pribumi. Tidak adanya jaminan bagi para petani mengakibatkan hilangnya dorongan untuk maju. Sesuai pernyataan Hogendorf, ia tidak percaya pendapat orang-orang Eropa tentang kemalasan orang Jawa, karena apabila diberi kebebasan menanam dan menjual hasilnya, petani-petani Jawa akan terdorong untuk menghasilkan lebih banyak dari pada yang dicapai dibawah masa Belanda.
C.      Usaha-Usaha yang dilakukan
Interegum Inggris (1811-1816) hanya diperintah oleh seorang, yakni oleh Thomas Stamford Raffles. Ia seorang humanis yang penuh idealisme. Raffles dapat  disebut pula sebagai “a man of the enlightenment”, yang banyak memiliki pengalaman praktis dalam administrasi colonial.[8]Pemerintahan Raffles didasarkan atas prinsisp-prinsip liberal, seperti halnya pada Van Hogendrop, jadi politik colonial yang hendak mewujudkan kebebasan dan kepastian hukum. Prinsip kebebasan mencakup kebebasan menanam dan kebebasan perdagangan, keduanya akan menjamin adanya kebebasan produksi untuk ekspor.[9]
Apa yang dikehendakinya sebagai pengganti system VOC adalah pertanian dimana para petani atas kehendak sendiri menanam tanaman perdagangan  (cash crops) yang dapat diekspori ke luas negeri.[10]
Dalam usahanya untuk menegakkan suatu kebijaksanaan colonial baru, Raffles berpatokan pada tiga asas:
1.      Segala bentuk dan jenis penyerahan wajib meupun kerja rodi harus dihapuskan dan kepada rakyat diberikan kebebasan penuh untuk menentukan jenis tanaman apa yang dikehendaki untuk ditanam tanpa ada unsure paksaan apapun.
2.      Peranan para bupati sebagai pemungut pajak dihapuskan dan sebagai penggantinya mereka dijadikan bagian yang integral dari pemerintah colonial dengan fungsi-fungsi pemerintahan yang sesuai dengan asas-asas pemerintahan di negari-negari Barat.
3.      Berdasarkan anggapan bahwa yang menggarap tanah dianggap sebagai penyewa (tenant) tanah milik pemerintah. Untuk penyewaan tanah ini para petani diwajibkan membayar sewa tanah (land-rent) atau pajak tanah.
Sewa tanah inilah yang selanjutnya dijadikan dasar kebijaksanaan pemerintah Inggris di bawah Raffles dan kemudian dari pemerintahan Belanda sampai 1830.[11]
Sistem sewa tanah ini kemudian dikenal dengan nama landeliijk stelsel. Terdapat dua hal yang ingin dicapai Raffles melalui landeliijk stelsel ini
1.      Untuk memberikan kebebasan berusaha kepada para petani Jawa melalui pajak tanah, dan
2.      Dengan mengefektifkan system administrasi Eropa berarti penduduk pribumi akan mengenal ide-ide Eropa mengenai kejujuran (honesty), ekonomi (economi) dan keadilan (Justice).[12]
Pelaksanaan sitem sewa tanah ini ternyata tidak dapat diterapkan meliputi seluruh pulau Jawa. Di daerah-daerah sekitar Batavia dan Parahyangan system sewa tanah tak dapt diselenggarakan, karena daerah-daerah di sekitar Batavia umumnya milik swasta, sedang di daerah Parahyangan pemerintah colonial berkeberatan untuk menghapuskan system penanaman paksa kopi yang memberikan banyak keuntungan besar kepada pemerintah. Jelaslah bahwa pemerintah colonial sendiri tidak bersedia secara konsisten untuk menerapkan asas-asas liberal, jika hal ini mengandung resiko yang merugikan pemerintah. [13]
Selain itu penghalang utama bagi pelaksanaan politiknya ialah unsure feudal yang sangat kuat kedudukannya dan system ekonomi feudal yang masih bersifat tetutup sehingga oembayaran pajak belum dapat dilakukan sepenuhnya dengan uang, tetapi in natura.




[1] Ivan Sujatmoko. Sistem Sewa Tanah Masa Raffles. http://pendidikan4sejarah.blogspot.com. Diakses pada 25 Februari 2013 pukul 7:16.
[2] Prof.A. Daliman.2012. Sejarah Indonesia. Yogyakarta. Hlm 19-20.
[3] _. Thomas Stamford Raffles. http://profil.merdeka.com.diakses pada 26 februari 2013. Pukul 08.07.
[4]ibid
[5]Ibid
[6]Ibid
[7] Ivan Sujatmoko. http://pendidikan4sejarah.blogspot.com. Diakses pada 26 Februari 2013. Pukul 8.18
[8]Prof.A. Daliman.2012. Sejarah Indonesia. Yogyakarta. Hlm 20.
[10]Opcid., hlm 22
[11]Opcid., hlm 23
[12] Prof.A. Daliman.2012. Sejarah Indonesia. Yogyakarta. Hlm 23
[13]Ibid., halm 24
Share:  

0 komentar:

Posting Komentar